Liputan6.com, Jakarta Dari ribuan tanaman obat bahan alam atau obat herbal yang ada, data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkapkan paling tidak ada 900 tanaman obat yang tereksplorasi.
Beberapa diantaranya pun sudah ada yang menjalani uji praklinis dan uji klinis atau disebut fitofarmaka. Sayang, dokter masih enggan untuk meresepkan obat herbal kepada pasien.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Siswanto, hal ini terjadi karena dokter masih meragukan keamanan dan manfaat dari obat herbal tersebut.
Baca Juga
"Dokter harus tahu mekanisme kerja obat. Lalu melihat juga keamanan dan manfaat obat itu. Sehingga hal ini yang membuat dokter meragukan kejelasan mekanisme kerja serta safety dan bermanfaat atau tidak produk tersebut," kata Siswanto di sela-sela The 3rd Meeting of Medicinal Plants Focal of Indian Ocean Rim Association (IORA) Regional Centre for Science and Technology Transfer di Jakarta pada Kamis (11/5/2017).
Advertisement
Agar para dokter yakin dalam meresepkan obat bahan alam kepada pasien, Siswanto mengungkapkan obat herbal perlu didukung data tentang keamanan dan manfaat yang valid dan kredibel.
Menanggapi hal ini, BPOM mengarahkan bahwa dokter bisa memanfaatkan obat herbal jenis fitofarmaka. Ini adalah obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui uji praklinis dan uji klinis serta bahan baku terstandarisasi.
"Fitofarmaka sudah ada pembuktian secara klinis, sehingga akan kami dorong penggunaannya pada klinisi," kata Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen BPOM, Ondri Dwi Sampurno pada kesempatan yang sama.
Ondri menambahkan kini sudah ada 10 produk fitofarmaka yang sudah terdaftar di BPOM. Mulai dari antidiare, antihipertensi hingga yang terbukti bermanfaat memperbaiki sistem imun tubuh. Menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir sudah mulai ada peningkatan dokter yang meresepkan fitofarmaka pada pasien.