Liputan6.com, Jakarta Memasuki bulan Agustus, Health-Liputan6.com menyajikan serangkaian tulisan tentang mereka yang berjasa bagi perjuangan kemerdekaan dari dunia kesehatan. Setelah kemarin dokter Moewardi, pada Kamis 3 Agustus 2017 kami menampilkan dokter Soetomo.
Baca Juga
Soetomo merupakan pahlawan nasional yang berpikiran maju dan terbuka. Pria dengan nama kecil Subroto ini, saat muda bersama rekan-rekannya mendirikan Budi Utomo, sebuah organisasi modern pertama yang mengampanyekan nasionalisme di Indonesia. Kelahiran organisasi ini juga jadi tonggak kebangkitan nasional.
Advertisement
Soetomo lahir di Desa Ngepeh, Jawa Timur pada 30 Juli 1988. Ayahnya seorang priyayi bernama Suwaji yang berpikiran maju dan modern. Dilahirkan dari keluarga terpandang, Soetomo kecil bisa merasakan pendidikan formal di sekolah dasar Belanda, Europeesche Lagere School (ELS).
Ketika beranjak remaja, Soetomo berkeinginan melanjutkan belajar ke Jakarta yakni di Sekolah Dokter Belanda atau STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Di Januari 1903, Soetomo dengan 13 orang lain dari berbagai daerah di Indonesia mendaftarkan diri di STOVIA.
Saat belajar di STOVIA, Soetomo berkesempatan mendengarkan ceramah dokter senior Wahidin Sudirohusodo yang saat itu sedang datang ke Jakarta. Ceramah Wahidin membukakan mata Soetomo akan pentingnya pemuda dalam memajukan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan.
Pertemuan Soetomo dengan Wahidin, seperti mengutip laman Institut Harkat Negeri pada Kamis (2/8/2017), memberi pengaruh besar pada sikap dan pemikiran pria asal Ngepeh tersebut.
Soetomo menyampaikan gagasan kepada teman-temannya di STOVIA untuk mendirikan sebuah perkumpulan. Soetomo saat itu berceramah dengan tenang menjelaskan gagasannya secara singkat dan jelas.
Hingga akhirnya Soetomo, Soelaeman, Goenawan Mangoenkoesoemo, Angka Prodjosoedirdjo, M Suwarno, Muhammad Saleh, Soeradji, dan Goembrek mendirikan Budi Utomo pada 20 Mei 1908.
Tujuan organisasi ini adalah untuk memajukan bangsa dan nusa di tingkat pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, dan mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan yang terhormat.
Hingga pada akhir tahun 1909, organisasi ini memiliki 40 cabang dengan anggota 10.000 orang.
Hari lahir Budi Utomo pada 20 Mei kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kehadiran Budi Utomo telah mendorong berdirinya organisasi-organisasi bahkan partai-partai politik di kemudian hari seperti mengutip laman pahlawancenter.com.
Dokter dermawan
Lulus dari STOVIA di 1911, Soetomo diangkat sebagai dokter pemerintah. Awalnya dia ditempatkan di Semarang, lalu pindah ke Tuban.
Tak lama, dia dipindahkan lagi ke Lubuk Pakam dan akhirnya ke Malang. Saat bertugas di Malang, dia mampu mengatasi wabah pes yang kala itu melanda daerah Magetan.
Selama berpindah-pindah tugas, Soetomo dengan jelas melihat penderitaan rakyat saat itu. Ketika ada pasien datang, dia tidak menetapkan tarif, sering pula dia menggratiskan layanan.
Panggilan tengah malam pun kerap dijalaninya tanpa kesal. Tidak dibayar pun juga tidak apa-apa. Semua itu dia lakukan setulus hati demi negeri yang dicintai.
Advertisement
Aktif di dunia jurnalistik
Pada 1919, Soetomo mendapatkan kesempatan belajar lagi ilmu kedokteran di Belanda. Tak berhenti di situ, dia kemudian bersekolah lagi di Jerman Barat dan Austria.
Sekembalinya ke Indonesia, Budi Utomo tak menarik perhatiannya. Namun, dia tetap ingin menghimpun golongan terpelajar untuk bergerak bersama-sama demi masyarakat. Soetomo mendirikan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia bernama Indonesische Studi Club (ISC) pada 1924.
ISC kemudian berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia pada 1931. Di bawah kepimpinan Soetomo, PBI berkembang pesat.
PBI kemudian digabung menjadi Budi Utomo, kemudian berganti menjadi Partai Indonesia Raya pada Desember 1955. Organisasi ini ditujukan untuk mengupayakan kemerdekaan Indonesia.
Selain sibuk di dunia kedokteran dan keorganisasian, Soetomo juga mencintai dunia jurnalistik. Banyak surat kabar yang lahir berkat tangan dinginnya, salah satunya adalah majalah bulanan Goeroe Desa.
Sebagai aktivis pergerakan, Soetomo tahu betul surat kabar memegang peranan penting dalam usaha memperjuangkan Indonesia. Hingga jelang akhir hayatnya, Soetomo tetap aktif bergelut dengan dunia pers. Soetomo tutup usia pada 30 Mei 1938.