Liputan6.com, Jakarta Melanjutkan profil dokter-dokter pahlawan (Dokter Pejuang Kemerdekaan) di bulan Agustus ini, tim Health-Liputan6.com akan membahas tentang salah satu dokter yang turut berjuang demi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah kemarin membahas Dokter Soetomo, pada Jumat (4/8/2017), kami akan memprofilkan Prof. Dr. Moestopo dan perjuangannya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Seperti kata pepatah, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama. Meski telah tiada, nama Prof. Dr Moestopo, masih terus disebut dan diingat banyak orang lantaran yayasan pendidikan yang ditinggalkannya memiliki keunikan yang tidak mungkin ditiru oleh yayasan lain.
Di balik keunikan dari kata 'Beragama' di belakang Universitas Prof. Dr Moestopo, ada makna khusus yang ingin ditularkan kepada generasi penerus. Dalam buku berjudul: Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Yayasan Universitas Prof. Dr. Moestopo (UPDMB), milik yayasan UPDMB, kata beragama tersebut dicantumkan sejak 1966 demi menciptakan kerukunan beragama di dalam kampus.
Advertisement
Berpegang teguh pada sila pertama Pancasila dan sebagai pedoman bagi setiap warga negara Republik Indonesia untuk hidup rukun dan damai, kata beragama dicantumkan agar antar individu di dalam UPDMB dapat hidup rukun dan berdampingan baik antar sesama agama dan lainnya.
Bergeser pada keunikan yang ditinggalkan Moestopo, sebelum ia mendirikan universitas tersebut ia turut berperan besar dalam melawan dan mengusir penjajah di Indonesia.
"Berjuang sampai titik darah penghabisan dalam masa revolusi fisik" dan "bekerja keras sampai titik keringat dan otak penghabisan dalam masa damai", begitu motto hidup yang dipegang teguh oleh Mayjen. TNI (Purn.) Prof. Dr Moestopo Os-Orth-Opdent-Prosth-Pedo/DHE Biol. Panc SPN.
Lahir di Ngadiluwih, Kediri pada 13 Juni 1913, Moestopo bukan berasal dari keluarga ternama. Ayah Moestopo, R. Moentoro hanyalah seorang pensiunan pembantu Bupati Kediri. Untuk bisa mengenyam pendidikan sekolah dasar saja, Moestopo terpaksa tidak tinggal bersama kedua orangtua dan dititipkan pada kakak dari ibunya, Indoen Soekidjah.
Selama tinggal bersama pamannya jangan pikir ia bisa lenggang kangkung. Setiap hari ia harus menggembalakan kambing dan menanam sayuran. Saat duduk di bangku kelas VI dan VII di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) ia juga menjadi jongos di kediaman Kepatihan Kediri, mulai pukul 21.00 sampai 23.00 WIB.
Tak jarang Moestopo terpaksa bolos sekolah satu hari di akhir bulan untuk bekerja paruh waktu sebagai juru tulis di pasar ternak yang menjual kambing. Itu semua dilakukan untuk menambah penghasilan demi melanjutkan sekolah.
Kerja keras yang ia lakukan berbuah hasil. Saat ingin melanjutkan pendidikan di Hollandsche Indische Kweekschool (HIK), Moestopo mendapatkan biaya bantuan dari sepupunya. Mengulang cara yang sama, Moestopo tetap bekerja sambil sekolah dan berhasil membiayai diri sendiri untuk kuliah di Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi Stovit.
Jadi teknisi alat kedokteran gigi
Kerja serabutan tak menjadi soal bagi Moestopo, malah semua pekerjaan yang ia ambil termasuk menjadi seorang teknisi gigi Prof. M. Knap, seorang guru besar di Stovit, yang berkebangsaan Belanda. Pekerjaan ini dilakukan setiap malam mulai pukul 17.00 sampai 24.00. Bahkan terkadang ia lembur sampai 02.00 dini hari.
Dari hasil kerja kerasnya, Moestopo akhirnya mampu membiayai kuliah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan ia berhasil mengumpulkan uang untuk membeli sebuah rumah sederhana.
Di sela waktu menyelesaikan pendidikan kuliah, setiap malam sepulang dari bekerja dan kuliah ia memberikan pengobatan secara cuma-cuma. Sebagai tanda terima kasih, orang-orang yang ditolong oleh Moestopo sering kali menyediakan hidangan malam untuknya.
Setelah lulus dari pendidikan kedokteran gigi pada 1937, pria kelahiran Juni itu tetap bekerja leveransir (orang atau perusahaan yang bertugas menyediakan bahan-bahan keperluan) di tempat Prof. M. Knap, tapi jika ia pergi ke luar negeri, maka Moestopo yang menggantikan Prof. Knap praktik.
Tak saja mengandalkan pekerjaan di tempat Prof. M. Knap, Moestopo rutin membuka praktik di alun-alun Gresik. Tujuannya sangat mulia, ia ingin membantu pasien yang kurang mampu di tengah zaman Belanda kala itu. Meski jarak antar Gresik-Surabaya mencapai 16 kilometer, tapi ia tetap semangat dan tulus melakukannya.
Tak sia-sia banting tulang seharian, akhirnya Moestopo berhasil membeli alat-alat kedokteran gigi dan membuka praktik di Jalan Princesenlaan, Surabaya.
Terjun ke dunia militer
Di tengah pengabdian menjadi seorang dokter, Moestopo diangkat menjadi wakil direktur Stovit, menggantikan Prof M. Knap yang bertugas melaksanakan wajib milisi untuk memerangi Jepang.
Selama menjabat, Moestopo turut dianjurkan untuk memasuki pendidikan kemiliteran yang tergabung dalam Peta (Pembela Tanah Air) yang didirikan untuk membantu pasukan Jepang di Indonesia). Akhirnya ia mengambil pendidikan tersebut di Bogor yang berlangsung selama 120 hari.
Keterampilan sebagai militer yang telah dikantongi Moestopo menjadi berguna saat Jepang ingin menyerahkan senjata kepada tentara Inggris. Dengan satu batalyonnya yang ditempatkan di Gresik oleh Jepang, Moestopo membentuk Badan Keamanan Rakyat Jawa Timur selaku Penanggung Jawab Keamanan Rakyat Jawa Timur.
Sebelum tentara Inggris datang, bersama pasukan, Moestopo menyerang sekutu Jepang dengan bermodal senjata seadanya yaitu, bambu runcing. Dengan adanya serangan tersebut, seluruh persenjataan dan peralatan perang di Surabaya diserahkan kepada pejuang bangsa Indonesia.
Belum selesai perjuangan Moestopo, kegagalan melucuti persenjataan tentara Jepang di Surabaya, Jawa Timur dan Jawa Tengah, tentara Inggris balas dendam menyerang Surabaya. Tidak diam begitu saja, Moestopo menghadapi serangan itu.
Terungkap bahwa kedatangan tentara Inggris ke Indonesia sebagai tentara sekutu ternyata diboncengi oleh tentara Nica Belanda yang berniat untuk menjajah Indonesia kembali.
Berakhirnya pertempuran Surabaya, membuat Moestopo dipensiunkan oleh Bung Karno sebagai Jenderal penuh. Kemudian ia diberi tugas sebagai Penasehat Agung Militer Presiden Republik Indonesia dan ia kembali ke Gresik.
Perjuangkan fakultas ilmu komunikasi
Di samping aktif dalam kemiliteran, Moestopo turut turun tangan dalam memajukan pendidikan tinggi di Indonesia. Selain mendirikan fakultas kedokteran gigi di Indonesia, ia juga termasuk seorang pelopor perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia.
Rencana peleburan fakultas ilmu komunikasi menjadi salah satu jurusan di fakultas ilmu-ilmu sosial, oleh Menteri P dan K (sekarang menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), DR Daud Yusuf, digagalkan oleh Moestopo.
Bersama kolega kala itu, Moestopo merancang proposal untuk mempertahankan fakultas ilmu komunikasi layak berdiri sendiri. Ia memegang gigih prinsipnya karena ia merasa keampuhan ilmu komunikasi akan sangat menonjol pada era globalisasi. Pikiran yang visioner itu terbukti saat ia berhasil mendirikan Universitas Pajajaran Bandung dan Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama).