Sukses

Menyamar Jadi Petani, Dokter Soeharso Rawat Pejuang Kemerdekaan

Dokter Soeharso punya peran besar dalam meningkatkan derajat hidup orang-orang yang tak memiliki anggota fisik lengkap.

Liputan6.com, Jakarta Dokter Pejuang Kemerdekaan edisi Selasa (14/8/2017) kali ini akan membahas seorang dokter spesialis bedah, Soeharso. Melanjutkan kisah dokter Sardjito dalam rangkaian profil dokter-dokter pahlawan yang dipersembahkan tim Health-Liputan6.com untuk merayakan bulan Kemerdekaan Indonesia di Agustus ini.

 

Soeharso lahir di Desa Kembang di lereng Gunung Merbabu yang masuk kawasan Boyolali pada 13 Mei 1912. Walau anak desa, berkat Soeharso banyak nyawa selamat saat perang kemerdekaan Indonesia.

Soeharso muda mendapatkan beasiswa belajar di Sekolah Kedokteran (NIAS) di Surabaya. Lulus pada 1939 sebagai dokter, anak pak lurah itu kemudian bekerja di Rumah Sakit Umum (CBZ) Surabaya.

Tak cuma bekerja, Soeharso juga terus memperdalam ilmu bedah. Hingga akhirnya menjadi dokter spesialis bedah.

Soeharso tak lama bekerja di Surabaya karena seorang suster Belanda memandangnya dengan rendah gara-gara pribumi. Dia lalu dipindahkan ke Ketapang, Kalimantan. Di tempat ini, dia bertemu dengan wanita yang kemudian menjadi istrinya, yakni putri dokter Agusjam.

Saat itu, tentara Jepang kejam terhadap kaum terpelajar. Bahkan mereka tak segan hingga membunuh kaum terpelajar, termasuk mertua Soeharso. Guna menyelamatkan nyawa, dia dan istri melarikan diri menggunakan perahu hingga akhirnya kembali ke tanah kelahiran Soeharso.

Sebagai dokter, tenaganya amat dibutuhkan saat itu. Dia pun mulai bekerja bekerja di Rumah Sakit Jebres Sala pimpinan dokter Pujo seperti mengutip laman Pahlawan Center, Selasa (15/8/2017)

Walau sudah jauh dari Kalimantan, rupanya Soeharso masih dicari-cari oleh pemerintah Jepang. Beruntung, dia mendapat perlindungan dari dr Mayeda seorang dokter Jepang, sehingga tetap bekerja di Rumah Sakit Jebres.

2 dari 2 halaman

Menyamar Jadi Petani

Pada masa revolusi kemerdekaan Soeharso menolong pejuang Indonesia. Tak jarang dia mengirim obat-obatan ke garis depan. Sering kali dia harus menyamar sebagai petani untuk menerobos penjagaan Belanda.

Selama merawat para pejuang kemerdekaan yang cacat karena perang gerilya, dia sering mendengarkan keluh kesah mereka.

Pejuang yang disabel banyak pesimis terhadap hidup mereka. Seringkali mereka bertanya: Mengapa harus menjalani operasi? Mengapa tak mati saja? Untuk apa hidup bila tak punya tangan dan kaki?

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Soeharso terketuk hatinya. Dia ingin tak hanya fisik yang disembuhkan tapi juga mental. Jadi tugas dan kewajibannya belum selesai dengan mengoperasi keadaan fisik para pejuang. Mereka yang kehilangan kaki harus diberi ganti kaki palsu.  

Cita-cita mulia Soeharso diwujudkan dengan mendirikan suatu pusat untuk merehabilitasi disabel. Dia juga membaca buku-buku karangan Henry H Kassler tentang rehabilitasi orang disabel.

Dari buku itu dan prospektus lain, Soeharso memperoleh pengetahuan tentang rehabilitasi orang disabel. Mula-mula Soeharso menggunakan kayu jati untuk membuat bagian tubuh tiruan, tetapi ternyata terlalu berat. Lalu dipilihnya kayu waru yang tidak terlalu berat yang juga tidak lekas lapuk.

Perjuangan Soeharso membuahkan hasil, pada 1953 ia mendirikan Rumah Sakit Orthopedie di Surakarta serta Yayasan Pemeliharaan Anak-Anak Cacat.

Tak kalah penting, Soeharso juga mendirikan Shel­tered Workshop (bengkel). Mereka yang tidak lengkap secara fisik diberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang normal. Pekerjaan yang dilakukan mulai dari reparasi perlengkapan perang, pertukangan kayu, perakitan, pelituran, hingga reparasi mobil.

Soeharso wafat di usia 59 pada tanggal 27 Februari 1971 di Surakarta. Salah satu kalimatnya yang selalu dikatakan adalah ”Right or wrong my country, lebih-lebih kalau kita tahu, negara kita dalam keadaan bobrok, maka justru saat itu pula kita wajib memperbaikinya”.

Soeharso dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada 1973.