Liputan6.com, Jakarta Usianya sekitar 26 tahun, gadis ini bertemu saya karena disarankan oleh ayahnya. “Anak saya lesbian. Saya sendiri berusaha besar hati menerimanya, tapi saya nggak tega lihat isteri saya sangat sedih dan tidak terima anaknya lesbian,” ujar sang ayah melalui telepon.
Dewi, sebutlah begitu namanya, bertubuh sangat ramping berwajah manis. Ia terkesan tomboy, dilengkapi tato di beberapa bagian tubuhnya. Meski berusaha ramah, tapi gadis ini terlihat sangat tertekan. “Hidup saya kacau,” ucapnya singkat.
Advertisement
Dewi lantas menceritakan urusan patah hatinya karena dikhianati oleh kekasih yang selama ini sudah diberinya banyak pengorbanan. Berkali-kali ia ditinggal selingkuh, berkali-kali pula ia memaafkan dan terus menerima kembali sang kekasih. Hanya kali ini toleransi dan kesabarannya makin menipis.
“Saya ingin dibantu mengatasi masalah ini. Saya sangat menyayangi dia, tapi perasaan saya terus tersakiti oleh perilakunya,” ujar Dewi tentang kekasihnya, janda dengan dua anak. Ia ingin hidupnya kembali damai dan tenang supaya bisa produktif, mengingat ia telah diberi tanggungjawab mengurus perusahaan baru orangtuanya.
Kepada Dewi saya ingatkan bahwa orangtuanya berharap dia dapat meninggalkan kecenderungan lesbian. Tapi dia lebih memprioritaskan melepas emosi negatif terhadap kekasihnya.
Diabaikan orangtua
Setelah membawa sarjana ekonomi ini ke kondisi rileksasi yang sangat dalam, saya bantu dia menguras perasaan-perasaan negatif yang selama ini tersimpan dan berakumulasi di hati dan pikirannya. Dengan teknik tertentu semua sampah emosi itu dapat dilepaskan, sehingga Dewi pun dapat memaafkan kekasihnya dan beberapa orang lain yang pernah menyakitinya di masa lalu. Kecuali orangtuanya. Dewi belum dapat memaafkan mereka.
Dewi menggelengkan kepala saat saya minta membayangkan orangtuanya. Dari kedua matanya mengalir airmata yang bergulir deras melewati pipi. “Saya belum bisa memaafkan mereka,” katanya. Bukan hanya ayah dan ibunya, ternyata juga ada seorang guru saat ia duduk di bangku SMP. Mengapa?
Singkat cerita, di masa remaja awal itu Dewi mengalami pelecehan seksual di sekolah oleh salah seorang guru laki-laki. Dengan perasaan tidak karuan, campur aduk antara marah, benci, jijik, takut, terhina, tidak terima, bingung, merasa diri kotor, merasa tidak berharga, malu dan lain-lain Dewi melaporkan apa yang dialaminya di sekolah kepada kedua orangtuanya. Apa respon yang dia dapatkan?
“Bapak dan Mama bilang saya ngarang. Katanya saya berkhayal,” ungkapnya. Kedua orangtuanya tidak percaya mendengar laporan tentang perbuatan tak senonoh itu. Mereka bahkan memarahinya karena dianggap telah menuduh seorang guru.
Betapa sangat terpukulnya Dewi. Rasanya seperti sudah jatuh masih tertimpa tangga pula. Remaja akil balik yang sangat membutuhkan dukungan dan pertolongan itu malah mendapatkan penolakan bahkan celaan dari mereka yang seharusnya tanggap. Bukannya rengkuhan dan bantuan yang ia terima, guru pelaku pelecehan yang harusnya dilabrak itu malah dibela. “Mereka tidak mau mendengar apa yang saya alami,” ujarnya memelas.
Sejak itu Dewi sangat membenci laki-laki. Dia tidak percaya lagi pada lawan jenis. Ia pun mulai menarik diri dari orangtuanya. Hilang kepercayaannya terhadap mereka. Untuk menutupi ketidakberdayaannya, gadis yang semula feminin itu lantas mengubah penampilannya menjadi tomboy. Ia bersikap seperti laki-laki agar tidak dilecehkan oleh laki-laki. Hingga suatu hari Dewi mulai menjalin hubungan asmara sesama jenis.
“Tidak ada gunanya menyimpan perasaan negatif itu,” kata saya kepadanya, “Memaafkan berarti Anda membebaskan diri dari pengaruh peristiwa buruk itu, dan dapat kembali menjadi Dewi yang sebenarnya.” Tapi dia tetap pada pendiriannya. Memaafkan pun belum mau. “Tidak sekarang,” ujar Dewi bersikukuh.
Sebagai hipnoterapis saya tidak bisa memaksanya, kecuali meyakinkan bahwa kecenderungan berganti orientasi seksual itu bisa dipulihkan, kalau dia memutuskan untuk kembali menjadi heteroseks.
Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Dewi ini?
• Orangtua sebaiknya tidak abai saat anak mengungkapkan pengalaman atau isi hatinya. Dengarkan dan hargai anak, jangan sekali-kali meremehkan atau merendahkan. Apa yang Anda anggap sepele dan bukan masalah bisa jadi merupakan persoalan teramat berat bagi anak, karena bawah sadar anak punya persepsinya sendiri atas suatu ucapan, perkataan atau peristiwa.
• Masalah besar yang terjadi pada kehidupan seseorang seringkali penyebabnya adalah orangtua di masa lalu, terutama ketika masih kanak-kanak atau remaja. Orangtua hendaknya memahami bahwa mereka adalah figur otoritas bagi anak. Kata-kata, sikap dan perbuatan orangtua menjadi hukum atau pedoman yang dipegang oleh anak.
• Orientasi seksual bukan melulu perkara hormonal. Perubahan orientasi dari heterosex (hanya tertarik pada lawan jenis) menjadi homoseks (tertarik pada sesame jenis) dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis atau pikiran seperti yang terjadi pada Dewi.
Dra. MTh. Widya Saraswati, CCH, CT
Penulis adalah seorang ahli Hipnoterapi Klinis