Liputan6.com, Jakarta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terus mengawal perjalanan kurikulum program studi Dokter Layanan Primer (DLP), yang masih didiskusikan IDI di ranah sidang Mahkamah Konstitusi.
Prodi DLP yang sudah diputuskan Pemerintah melalui Mahkamah Konstitusi sebagai profesi baru masih punya beberapa persoalan yang harus dibenahi. Dalam hal ini, pendidikan DLP mengintegrasikan hanya tiga kelompok kedokteran, yaitu kedokteran keluarga, kedokteran komunitas, dan kedokteran kesehatan masyarakat.
Baca Juga
Namun, IDI menilik, ahli kedokteran kesehatan masyarakat tidak dilibatkan oleh Pokja Nasional DLP untuk merumuskan kurikulum DLP.
Advertisement
"Seharusnya mereka (Pokja Nasional DLP) mengundang ahli kesehatan masyarakat untuk ikut bersama-sama merumuskan kurikulum DLP. Ya, karena kesehatan masyarakat sudah disebutkan dalam putusan MK dan menjadi bagian dari kurikulum itu. Tapi tidak pernah melibatkan ahli kesehatan masyarakat," jelas dr Muhammad dr Akbar, Saksi Fakta dari IDI saat berbincang langsung dengan Health-Liputan6.com di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (4/9/2017).
Dianggap membangkang
Ketidakikutsertaan ahli kesehatan masyarakat dalam merumuskan kurikulum DLP menjadi persoalan yang cukup pelik.
"Justru orang yang tidak disebut dipanggil (oleh Pokja Nasional DLP). Kami punya bagian dokter spesialis. Dokter spesialislah yang dipanggil (untuk ikut merumuskan kurikulum DLP). Padahal, dokter spesialis itu tidak disebut dalam putusan MK," ujar dr Akbar.
"Ketika IDI melarang bagian dokter spesialis memenuhi panggilan tersebut, dianggapnya kami membangkang putusan MK. Padahal, kami mengamankan putusan MK, lanjut dr Akbar.
"Dikatakan IDI menolak prodi DLP lewat demo. Itu masih 'koma', yang kami tolak adalah prodi DLP yang perwujudannya tidak sesuai dengan putusan MK (seperti tidak melibatkan ahli kesehatan masyarakat)," tambah dr Akbar.