Liputan6.com, Jakarta Dalam buku "Pandangan Kritis Seorang Hakim", Binsar Gultom mengatakan banyak perkawinan yang kandas akibat dimulai dengan terpaksa, termasuk karena hamil di luar nikah. Tes keperawanan adalah salah satu hal yang diusulkannya untuk menekan tingkat perceraian di Indonesia.
Tes yang ia maksud bukanlah sebuah ketentuan negara di mana setiap calon pengantin harus menjalani berbagai prosedur resmi. Binsar menjelaskan usulan ini lebih ditujukan kepada keluarga yang akan melangsungkan pernikahan.
Baca Juga
Kisah Cinta Pasangan Musisi Alex Kuple dan Tya Subiakto, Berjodoh Bukan dari Musik tapi Makin Giat Berkarya Setelah Menikah
Bos Amazon Jeff Bezos dan Lauren Sanchez Dilaporkan Akan Menikah di Aspen Sehabis Natal
Monica Street Woman Fighter Umumkan Hamil dan Segera Menikah, Calon Suami Masih Dirahasiakan
Orangtua, kata dia, diminta untuk memastikan apakah anak-anaknya akan menikah atas dasar ketulusan dan cinta, bukan karena menutupi aib.
Advertisement
"Harus betul-betul terbuka dulu secara internal. Orangtua menanyakan pada anaknya, 'sesungguhnya kalian sama-sama cinta atau tidak?'. Sebelum melangkah lebih jauh, tanya 'Apakah kalian sudah melakukan persetubuhan di luar nikah?'," kata Binsar saat dihubungi via telepon, Minggu.
Jika memang masih ragu, lanjut Binsar, orangtua bisa menindaklanjuti dengan melibatkan tim medis.
Dari sini, orangtua bisa memastikan keseriusan anak-anaknya. Bila ada indikasi niat pernikahan dilandasi keterpaksaan, lebih baik jangan diteruskan.
"Pada umumnya yang membuat rumah tangga hancur karena pernikahan tidak didasari saling mencintai," ujar dia.
"Lebih bagus sekarang tidak jadi atau dipending daripada dilanjutkan tetapi nantinya KDRT, perceraian atau pembunuhan," kata Binsar yang menangani 250 perkara perceraian sejak 1996.
Kecil kemungkinan tes keperawanan sebelum menikah bisa diatur oleh negara karena itu hal yang sangat privat.
"Belum ada (negara yang mengatur tes keperawanan). Itu kan sangat privat," katanya.
Dia juga mengusulkan adanya pelajaran mengenai rumah tangga di sekolah menengah atas atau di kampus agar individu bisa lebih siap membina pernikahan di masa depan.
"Sebelum orang berumahtangga, harus tahu apa sih lembaga perkawinan. Masa UU Perkawinan tidak pernah dipelajari siswa atau mahasiswa? (UU) Baru digunakan setelah terjadi perceraian padahal itu harus dipelajari," imbuh dia.
Buku "Pandangan Kritis Seorang Hakim" yang baru terbit Agustus lalu rencananya akan dibedah dan dibahas pada seminar di Universitas Esa Unggul pada November 2017. (Nanien Yuniar/AntaraNews)