Liputan6.com, Jakarta Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta menilai kasus pasien gawat darurat ditolak rumah sakit gara-gara tak punya cukup uang seperti bayi Debora bakal terus berlangsung selama belum adanya standar pelayanan medis nasional. Padahal, jika Kementerian Kesehatan RI membuat standar, hal tersebut mampu meningkatkan keselamatan pasien.
"Kasus seperti bayi Debora ini sudah sering terjadi. Menurut saya, hal seperti ini terus terjadi karena tidak ada standar pelayanan medis nasional," kata Marius saat dihubungi Health-Liputan6.com pada Senin (11/9/2017).
Baca Juga
Selama ini, tiap-tiap rumah sakit memang sudah memiliki standar pelayanan medis berlaku lokal. Namun, diperlukan standar pelayanan medis nasional yang berlaku di Indonesia. Sehingga dengan jelas dapat diketahui suatu hal yang dilakukan rumah sakit itu sesuai standar atau tidak.
Advertisement
"Selama tidak ada standar pelayanan medis nasional ya sulit dinilai. Kenapa? Karena alat ukurnya enggak ada. Selama ini Kemenkes hanya memiliki pedoman atau panduan, bukan standar pelayanan medis nasional," ujarnya.
"Misal kalau ada pasien gawat darurat tapi sama rumah sakit enggak mendapat perawatan, itu bagaimana? Kalau sekarang sulit, sekarang dibuat 'gelap'," katanya.
Dia mencontohkan, kehadiran standar pelayanan medis nasional ini seperti rambu-rambu lalu lintas. Saat rambu lalu lintas berwarna merah, artinya kendaraan harus berhenti. Baik dari Aceh hingga Papua, berlaku hal itu. Jika terus melaju saat lampu berwarna merah, berarti dia melanggar. Nah, Marius berharap ada standar seperti ini dalam pelayanan medis yang berlaku secara nasional.
"Kalau ada, pasien selamat. Sama seperti bila pengendara motor mengikuti aturan lalu lintas, pengendara bakal selamat," tuturnya lagi.
Â
Saksikan juga video menarik berikut:
Â
Â
Dorong Kemenkes buat Standar Pelayanan Medis Nasional
Dalam banyak kesempatan, Marius meminta Kementerian Kesehatan membuat standar pelayanan medis nasional. Hal ini sudah dilakukannya dalam beragam acara maupun mengungkapkan ke media. Namun, hingga kini standar pelayanan medis nasional tak kunjung dibuat.
"Saya juga tidak tahu, coba tanya sama rumput yang bergoyang," ucapnya.
"Menurut WHO, pedoman itu tidak wajib, yang wajib itu standar pelayanan medis nasional," ujar Marius lagi.
Dia juga memaparkan, menyusun standar pelayanan medis sebenarnya mudah saja dilakukan. Pertama, standar pelayanan medis nasional tersebut dibuat Kementerian Kesehatan dengan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait seperti rumah sakit, dokter, perawat, dan bidan.
Bila standar tersebut ketok palu, maka dilanjutkan dengan pembuatan clinical pathawau. Ini adalah alur yang menunjukkan secara detil tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan, termasuk hasil yang diharapkan. Dalam pembuatan clinical pathaway ini, Kemenkes kembali berdiskusi dengan pihak-pihak terkait.
"Lalu kemudian dibuat unit cost. Hal ini berujung pada keselamatan pasien," katanya lagi.
Â
Advertisement