Sukses

Saat dalam Bahaya, Kenapa Respons Orang Berbeda-beda?

Psikolog PION Clinician, Astrid Wen, menjelaskan bahwa respon tubuh terhadap ancaman atau bahaya itu ada tiga.

Liputan6.com, Jakarta Siswi SD di Jakarta Barat yang mengalami percobaan penculikan langsung menggigit tangan orang asing yang membekap mulutnya di depan sekolah. Gigitan tersebut membuat upaya penculikan gagal, dan anak berinisal PI itu pun berhasil lari ke dalam sekolah mencari pertolongan. 

Namun, respons sigap seperti yang dilakukan siswi tersebut belum tentu dimiliki individu lain ketika menghadapi bahaya. Pada kasus percobaan penculikan lain, bisa jadi korban hanya diam ketika bahaya datang. Mengapa bisa respons seseorang saat bahaya datang berbeda-beda, ya?

Psikolog PION Clinician, Astrid Wen, menjelaskan bahwa respons tubuh terhadap ancaman atau bahaya itu ada tiga. Pertama, fligt atau lari. Kedua, fight atau bertarung atau melawan. Ini adalah sebuah kondisi ketika orang tersebut tidak kabur tapi langsung melawan. Ketiga, freeze atau beku atau terdiam atau bengong karena dia tidak mengetahui apa yang harus dilakukan.

"Tiga-tiganya ini ada di setiap orang, cuma masalahnya seseorang tahu respons tersebut saat benar-benar terjadi ancaman. Seseorang enggak pernah tahu respons kalau bahaya atau ancaman real tidak datang," kata Astrid saat dihubungi Health-Liputan6.com ditulis Kamis (14/9/2017).

Respons yang terjadi, kata Astrid lagi, itu merupakan respons primitif. Respons ini bukan di atur logika, tapi refleks tanpa terpikirkan.

"Pada anak SD tersebut bisa gigit, ototomatis refleks by insting. Anak lain mungkin freeze atau tidak sempat lakukan perlawanan," kata psikolog anak ini.

 

2 dari 2 halaman

Jangan salahkan anak, bila dia tidak langsung lawan

Respons terhadap ancaman bahaya adalah refleks. Sehingga Astrid menyarankan agar tidak memarahi anak bila dalam bahaya dia tidak melawan orang yang menyakitinya.

"Kita enggak bisa menilai apakah sebuah respons yang terjadi memang yang paling bijak dilakukan. Bisa saja terjadi, usai menggigit, lalu anak kepalanya digetok sampai pingsan. Sehingga kita tidak bisa bisa menyalahkan anak atas responsnya terhadap suatu konteks atau situasi," kata Astrid lagi.

Tidak masalah juga bila anak diajarkan gerakan atau latihan bela diri. Namun, tidak ada jaminan hal tersebut akan diserap secara pasti oleh anak. Karena pada saat ancaman atau bahaya datang, respons yang dilakukan tubuh memang refleks atau tidak terpikirkan.

"Anak bisa diajari bela diri atau latihan melindungi diri, sehingga dibangun kewaspadaan untuk bisa merespons lebih cepat dan tepat dalam situasi bahaya. Tapi bukan jaminan ya, karena ketika seseorang, baik anak atau orang dewasa dalam acamaman, respons yang muncul itu berdasarkan refleks bukan logika," tekannya lagi.