Liputan6.com, Jakarta Adanya organisasi lain selain Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menimbulkan risiko ambiguitas dalam standar dan kompetensi profesional.
Demikian disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG dalam keterangan pers yang diterima tim Health-Liputan6.com, usai menjalani sidang terakhir uji materi gugatan UU Praktik Kedokteran (UU PRADOK) dan UU Pendidikan Kedokteran (UU DIKDOK) di Mahkamah Konstitusi, Rabu (27/9/2017).
Baca Juga
Dalam sidang ini, dua ahli dan dua saksi fakta dari pihak terkait dihadirkan. Salah satu saksi ahli persidangan yang hadir adalah Reno Rafly, M.S., diaspora program master bidang Organizational Behaviour atau Perilaku Organisasi dari New York University.
Advertisement
Reno menegaskan, adanya lebih dari satu organisasi untuk merumuskan kompetensi standar sepenting dokter, bisa membahayakan. Menurut Reno, kondisi ini bisa menimbulkan kebingungan karena tidak ada 'single source of truth' atau satu sumber kebenaran, bahkan tidak ada akuntabilitas yang jelas.Â
"Ketiga efek potensial ini tidak diragukan lagi dapat menyebabkan ketidakpercayaan pasien terhadap dokter dan dapat menyebabkan efek bola salju yang menjadi ancaman lebih besar pada kesehatan masyarakat dan ketahanan bangsa," ungkapnya.
Pernyataan perempuan yang aktif dalam Society of Industrial/Organizational Psychology (SIOP) yang berada di bawah naungan American Psychological Association (APA) ini membantah anggapan bahwa perlu ada lebih dari satu organisasi profesional. Ada yang menganggap, perlu ada organisasi tandingan untuk mencegah monopoli dan mewujudkan persaingan yang sehat.
Reno membandingkan IDI dengan American Medical Association (AMA) yang menjadi satu-satunya organisasi profesi untuk dokter di Amerika Serikat. AMA didirikan pada tahun 1847 dan saat ini memiliki 240 ribu anggota.
Â