Liputan6.com, Jakarta Mas Suprih. Prih Setyo Widodo, masih berumur dua bulan dalam kandungan Ibu, saat Bapak dijemput tentara. Sedangkan Haryono, yang lebih akrab dipanggil Tavip, belum genap berusia enam bulan. Tavip merupakan nama pemberian Pakde Parto Par, tetangga kami yang di kemudian hari juga dinusakambangkan. "Anak ini kunamai Tavip, dari kata `Vivere Peri Coloso`, karena lahir di tahun menyerempet bahaya."
Bapakku, Soetardjo alias Inthuk, kata Ibu, diciduk paksa oleh RPKAD - Ibu mengejanya erpekad. Seperti tetangga atau anggota keluarga yang diambil paksa, Bapak tidak mengetahui kesalahannya. Bapak yang penjahit, mendapat pesanan jahitan dari PKI. Saat ditangkap, pesanan jahitan tersebut belum selesai.
Baca Juga
Hingga bertahun-tahun kemudian, Ibu seperti trauma jika bertemu lelaki berseragam tentara, kecuali kakak ipar dan adik ipar dari keluarga Ibu, yang tentara bagian kesehatan. Pakde Minto dan Om Karno lebih dikenal sebagai mantri kesehatan ketimbang tentara. Setelah bapak ditangkap, kelebat seragam tentara bisa membuat Ibu terkencing-kencing. "Waktu itu, tiba-tiba kepalaku entah ditodong berapa senjata. Aku disuruh jongkok. Mas Tavip kudekap. Badanku gemetar. Menangis saja tidak berani, apalagi melarang tentara RPKAD yang mengobrak-abrol seisi rumah, mengambil beras, telur, isi lemari. Emas-emas dibawa semua."
Advertisement
Bapak saat itu sudah ditahan, dan Pak Parman, tetangga kami yang kader PKI, digelandang. Ia diseret dengan kaki tangan terikat menggunakan kuda mengelilingi jalan kampung depan rumah. Ibu mengenang, kali pertama lewat, Pak Parman masih berteriak kesakitan. Lewat kedua kalinya, mengerang lirih. "Ketiga kalinya sudah tak bersuara. Badannya hancur karena dihajar, diseret, sampai mati."
Ibu diopname di rumah sakit usai kejadian penyiksaan Pak Parman. Ia tidak tahan dipaksa mendengar dan melihat orang disiksa sampai mati. Dua anak perempuan Pak Parman kini masih hidup. Keduanya dijodohkan dengan TNI AD. "Kata orang, biar aman," sebut Ibu. Saat Pak Parman dihabisi, anak-anaknya masih kanak-kanak. Oleh Pakde Hadi yang tentara, anak Pak Parman (Mar dan Pling) diaku sebagai anak kandung.
Â
Â
Wajib Mencuri
Sudah sejak saya duduk di Sekolah Dasar, sembari menjahit, Bapak kerap bercerita tentang masa-masa penahanannya. Kata Bapak, di awal-awal penahanan saking berjubelnya penjara, setiap tahanan duduk mendekap kaki masing-masing, bahkan saat tidur sekalipun. Jangan ditanya kaki dan badan rasanya seperti apa, ujar Bapak. WC pun sesak orang.
Dari hari ke hari, ruang yang digunakan untuk tahanan sedikit lega, karena tiap hari ratusan orang mati kelaparan, sakit, atau disiksa. "Yang meninggal, bajunya dijadikan rebutan. Yang masih hidup disiksa terus. Pakde Prapto sampai bongkok akibat digebuki."
Pak Prapto, Suprapto, dikenal sebagai Lurah PKI di Desa Talang, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo. Kakak kandung Bapak ini juga disebut-sebut dalam buku Kidung untuk Korban, karya sastrawan Hersri Setiawan. Dari tiga bersaudara, hanya Pakde Harto yang merupakana kakak sulung, aman tidak ikut ditahan. Pakde Harto segera pindah dari Desa Talang ke Baron, Kecamatan Laweyan, Surakarta, ketika marak penangkapan pada orang-orang yang diduga terlibat G30S.
Seorang kawan Bapak sesama eks tapol yang di masa tuanya menjadi loper Koran (saya tidak ingat namanya), kerap juga bercerita pada saya saat mampir ke rumah, bagaimana para tahanan biasa makan cicak, kadal, kecoa, belalang, dan binatang lain yang ditemui demi mengisi perut. "Luih nyus tikus bakar yo, Jo? Ning yo lueh enak meneh yen pas maling pitik ora konangan (Lebih enak tikus bakar, ya. Tapi paling enak lagi ketika mencuri ayam, kalau tidak ketahuan)," kata kawan Bapak yang kemana-mana bersepeda itu.
Mencuri "diwajibkan" bagi tahanan untuk mengatasi rasa laparnya. Bapak menceritakannya begini. Mereka bahkan harus mencuri tanaman yang ditanam mereka sendiri, demi mempertahankan nyawa. Beberapa kawan yang ketahuan, dipopor senjata, diinjak-injak, dipukuli, atau apa saja yang dikehendaki sipir. Seorang tahanan yang sudah sakit dan ingin bunuh diri, akhirnya sengaja mencuri agar ketahuan. Malangnya, sebelum mati, dia disiksa habis-habisan.
Dalam surat perintah untuk membebaskan dari penahanan sementara, disebutkan nomor foto Bapak adalah 8887/A7/Djateng. Saya menduga itu adalah nomor tahanan Bapak. Dalam surat itu juga disebutkan tanggal penahanan saat mulai ditempatkan di Nusa Kambangan, 20 Nopember 1965. Tapi ada beberapa info yang tidak disebutkan dalam surat itu, juga tidak disebutkan bahwa Bapak pernah dikirim ke Pulau Buru. "Kemungkinan salah orang. aku dikirim ke Pulau Buru tidak lama, kemudian dikirim balik ke Nusakambangan." Memang, ada banyak sekali kekacauan administrasi saat itu, padahal menyangkut nyawa orang.
Advertisement
Melacur
Ibu dan Bapak kerap bercerita tentang tetangga atau saudara yang juga disiksa sampai mati. Salah satunya Pak Atmo Ledung. Ia ditembak mati di Jembatan Bacem. Istrinya, Mbokde Atmo Ledung yang menjanda, menghidupi anak-anaknya dengan menjadi tukang pijat. Sekali saat kumintai tolong memijit, kutanyai mengenai suaminya. Perempuan berkain jarik itu mendesah, lalu menangis. "Ibumu luih bejo, Nduk (Ibumu lebih beruntung)."
Dari kisah Ibu, ketika para suami mereka ditahan, beberapa kerabat dekat kami terpaksa menjual diri demi menghidupi diri sendiri dan anak-anak. "Si A itu bukan anak Paklik X. Bulik X terpaksa mau dinikahi Y yang tentara agar anak-anaknya bisa makan. Lahirlah A. Mbokde S terpaksa melacur setelah Pakde S diciduk. Ia tidak biasa bekerja, tidak ada yang menafkahi setelah Pakde S ditahan. Yu XX itu nasibnya juga sama, terkasa melacur."
Karena Kamu Anak PKI
Bapak dibebaskan sementara pada tanggal 30 Juli 1971. Hingga Presiden Suharto dipaksa turun jabatan, KTP milik Bapak masih bertanda khusus, ET. Sayang, KTP bersejarah ituu tidak saya temukan lagi. Berkat KTP ET, setiap pemilu, Bapak dan kawan-kawan sesama eks tapol '65 diwajibkan memilih partai Golkar. Kata Bapak, kartu pemilih untuk eks tapol berbeda dengan kartu pemilih lain. "Kalau nekat mencoblos PDI atau PPP, ya masuk sel lagi. Makanya Golkar selalu menang setiap pemilu."
Saya masih SMP ketika sepuluhan tentara mendatangi rumah. Saya mengingat-ingat, itu terjadi di tahun 1991 atau 1992. Mereka semua membawa senjata laras panjang. Ibu, saya, dan beberapa saudara saya disuruh duduk jongkok. Salah seorang dari mereka menanyai Bapak. Lainnya membuka lemari, lalu mengobrak-abrik, memeriksa setiap sudut yang dicurigai. Fotokopian buku Pramoedya Ananta Toer, Memoar Oey Tjoe Tat, termasuk buku pelajaran sekolah milik saya, dikeluarkan dari rumah. Buku-buku tersebut dibakar. Kami diperingatkan Bapak untuk tak mengingat-ingat lagi peristiwa itu.
Ternyata peristiwa itu bukan peristiwa akhir dari teror Orde Baru. Suatu hari, beasiswa yang diumumkan sebelumnya di sekolah dicabut begitu saja. Saya yang dipanggil maju ke depan kelas membelakangi papan tulis hitam, sempat bertanya mengapa. "Karena kamu anak PKI," tukas guru saya. Beberapa tahun setelah peristiwa itu, kata "beasiswa" yang terdengar atau terbaca dalam tulisan, membuat saya merana. "Ninuk anak PKI," lontaran kawan-kawan sekelas yang mendahului saya bersepeda saat pulang sekolah, kerap terdengar.
Cap anak PKI menempel entah hingga kapan. Salah satu kakak saya mengikuti ujian masuk di salah satu sekolah tinggi milik Negara. Ia dinyatakan lulus. Saking gembiranya, Ibu membuat bancakan (nasi tumpeng dikelilingi sayuran dan telur rebus) untuk mensyukuri kelulusan ujian masuk tersebut. Naas, hanya selang beberapa hari kemudian, datang surat ke rumah. Isinya mencabut hasil pengumuman dengan alasan, "orangtua yang bersangkutan adalah eks tapol '65". Bapak memperingatkan lagi, "Wes lalekke wae (Sudah, lupakan saja)."
(Ninuk Setya Utami)
*Kisah ini dimuat dalam Majalah Bhinneka, Setengah Abad Genosida '65, edisi Oktober 2015.
Advertisement