Sukses

Abdulrachman Saleh, Dokter Perintis TNI AU

Merayakan HUT ke-72 TNI, mari berkenalan dengan salah satu perintis TNI AU, dr. Abdulrachman Saleh.

Liputan6.com, Jakarta Merayakan HUT ke-72 TNI yang jatuh pada hari ini, Kamis (5/10/2017), tim Health-Liputan6.com sedikit berkilas balik dan melihat para perintis Tentara Nasional Indonesia (TNI). Salah satunya adalah Dokter Abdulrachman Saleh.

Nama Abdulrachman Saleh tak bisa dilepaskan awal kehadiran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU). Kecintaannya di dunia dirgantara mengantarkannya menjadi salah satu perintis AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) di bumi Indonesia.

Jauh sebelum AURI hadir, Abdulrachman muda sudah mencintai dunia penerbangan. Dia bahkan bergabung dengan sebuah perkumpulan olahraga terbang Aeroclub di Kemayoran, Jakarta. Kerja kerasnya bersaing dengan pemuda Belanda terbayar. Maman, panggilan akrabnya, berhasil meraih surat terbang.

Kecakapannya menerbangkan pesawat membuatnya masuk saat AURI sedang dirintis. Terlebih saat itu tenaga ahli di bidang penerbangan sangat kurang. Peran Abdulrachman pun dibutuhkan dalam dunia kedirgantaraan.

Saat itu pesawat yang dimiliki Indonesia layaknya barang rongsokan karena bekas pesawat Jepang. Berkat tangan dingin pria kelahiran 1 Juli 1909, banyak pesawat rongsok yang kembali bisa mengudara.

"Banyak pesawat-pesawat rongsokan Jepang yang telah rusak diperbaikinya, sehingga dapat dipergunakan lagi oleh AURI," seperti mengutip laman resmi TNI-AU.mi.id, Kamis (5/10/2017).

Selama di Yogyakarta, pria yang disebut Pak Karbol ini terus mengembangkan keterampilannya menjadi penerbang. Salah satunya belajar menerbangkan pesawat Cureng bersayap dua dengan instruktur salah satu perintis AURI, Adisutjipto.

Tak lama kemudian pada 1946 tugasnya dipindahkan untuk menjabat sebagai Komandan Pangkalan Udara Maospati (Madiun).

2 dari 3 halaman

Tak melupakan dunia kedokteran

Berkutat di dunia penerbangan, bidang kedokteran tak ditinggalkannya. Pengetahuannya di bidang kedokteran pun terus dibagikan.

Pria yang lahir dari ayah seorang dokter ini masih mengajar di Perguruan Tinggi Kedokteran yang saat itu dipindahkan ke Klaten, Jawa Tengah. Dari rumah, dia hampir setiap hari mengajar di Klaten.

Jarak antara rumah di Jawa Timur menuju Jawa Tengah dijangkau menggunakan pesawat yang diterbangkan sendiri dari Pangakalan Udara Maospati.

3 dari 3 halaman

Gugur dalam tugas

Pada Juli 1947 Abdulrachman bersama Adisutjipto ditugaskan pemerintah mencari bantuan obat-obatan ke luar negeri. Dua tokoh ini berhasil mendapatkan bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya. Lalu, segera pulanglah mereka ke Indonesia.

Dengan naik pesawat Dakota India VT-CLA, Abdulrachman dan Adisutijpto terbang ke Yogyakarta pada 29 Juli 1974 membawa obat-obatan. Saat pesawat hendak mendarat di Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta, dari arah utara muncul dua buah pesawat Belanda.

Secara bertubi-tubi, pesawat Belanda tersebut menembakan peluru ke arah pesawat Dakota India VT-CLA. Pesawat ini kehilangan keseimbagan, sehingga pendaratan dialihkan ke arah selatan Kota Yogyakarta.

Nahas, pesawat membentur pohon sampai-sampai patah menjadi dua dan terbakar. Hanya sebagian ekornya saja yang masih utuh. Semua awak pesawat dan penumpang meninggal dunia, kecuali seorang penumpang duduk di bagian ekor pesawat masih hidup.

Tenaga inti penerbang Indonesia meninggal karena kejadian itu. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa Abdulrachman, 17 Agustus 1952 AURI telah menetapkan Pangkalan Udara Bugis Malang menjadi Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh.