Liputan6.com, Jakarta Sejak akhir 2013 menderita meriang berkepanjangan, Ir Koeshartati Saptorini (48) ternyata didiagnosis menderita penyaktit autoimun. Diagnosis ini baru diterimanya pada Senin, 2 Oktober 2017. Perjalanan hingga terdiagnosis membutuhkan waktu panjang.
Baca Juga
Advertisement
Hal ini bukan berarti ada keterlambatan dalam diagnosis dokter, melainkan mendiagnosis penyakit autoimun memang membutuhkan waktu yang sangat panjang. Penyakit autoimun yang diidap Rini, sapaan akrabnya bernama sjogren syndrome.
Gejala mulai dirasakan Rini pada akhir 2013. Ia meriang selama tiga bulan. Frekuensi meriang dalam kategori yang sering. Ketika memeriksakan diri ke dokter penyakit dalam, Rini disebut kurang makan dan terlalu banyak stres.
Bahkan ia pernah didiagnosis menderita infeksi saluran kencing. Diagnosis itu membuat Rini ragu. Ia pun ingin memperoleh diagnosis yang tepat. Ia memeriksakan seluruh kesehatan tubuh, dari paru-paru, jantung, ginjal, darah, dan organ tubuh bagian dalam lainnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan, organ tubuh Rini dalam keadaan sehat.
Artinya, tidak ada organ tubuh yang memaparkan, tanda-tanda gangguan kesehatan. Meskipun hasil pemeriksaan termasuk negatif dari adanya penyakit, Rini masih merasa sangsi. Ia menduga ada sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Ini karena tubuhnya tidak jua merasa sehat.
“Saya curiga kalau terkena infeksi saluran kencing. Kenapa saya curiga? Soalnya saya punya intuisi yang tajam. Saya juga curiga, kondisi yang saya alami ini berhubungan dengan 13 alergi yang pernah saya alami tahun 1988. Pada waktu itu, saya alergi terhadap banyak hal, seperti debu atau dingin,” kata Rini saat berbincang dengan Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Rabu (4/10/2017).
Simak video menarik berikut ini:
Benjolan pada usus
Rini kembali memeriksakan diri ke dokter. Yang menjadi penyebab dari meriang bukanlah alergi, melainkan ada benjolan sebesar 1,4 cm di usus halus. Benjolan ini menimbulkan peradangan pada tubuh.
Dokter mengatakan, timbulnya benjolan karena adanya kuman yang masuk. Ia pun diberikan obat antibiotik. Setelah minum antibiotik, benjolan pada usus halus mengecil menjadi 1,1 cm.
Namun, tubuh Rini tetap tidak membaik. Ia bahkan mencoba minum air rebusan daun sirsak selama tiga hari berturut-turut. Setelah minum air rebusan daum sirsak, kondisi tubuh sempat membaik. Sayangnya, kondisi itu tidak bertahan lama. Rini kembali mengalami meriang.
Rini, mengakui, hampir dua pertiga hidupnya mengalami meriang selama empat tahun terakhir ini. Ia juga pernah mengalami pusing selama tiga bulan. Perjuangan mendapatkan diagnosis yang tepat kembali dilakukannya. Ia memeriksakan diri ke bagian rematologi—subspesialis penyakit dalam--di sebuah rumah sakit di Bandung pada Agustus 2017.
“Kata dokter bagian rematologi, dia belum bisa mendiagnosiss secara tepat apa penyakit yang saya alami. Dokter bilang, saya kekurangan vitamin D dengan kadar 30. Angka ini di bawah normal, normalnya kadar vitamin itu minimal 50. Tapi kadar vitamin D saya sebenarnya masih kategori aman. Dari pembicaraan saya dengan beberapa teman penderita Autoimun, kadar vitamin D di angka 10 dan 5 – itu sangat berpengaruh pada kesehatan mereka,” ungkap wanita yang berprofesi penulis buku matematika best seller ini.
Untuk mencukupi kebutuhan vitamin D dalam tubuh, dokter rematologi memberikan vitamin D. Tubuh Rini mulai membaik selang dua minggu kemudian. Bukannya membaik, ia justru mengalami radang tenggorokan.
Sadar karena kondisinya tidak juga membaik. Rini gencar mencari informasi soal penyakit yang dideritanya. Berbagai buku dan penelitian dibacanya. Rini, ibu dari tiga anak--dua anaknya termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK)--senang membaca. Ia mulai mencari informasi menyangkut penyakit yang tepat dialaminya.
“Saya ingin menemukan dokter yang tepat mendiagnosis penyakit saya. Saya kira untuk mendiagnosis penyakit ini perlu perjalanan waktu yang panjang. Saya sudah pergi ke berbagai dokter, dari dokter saraf sampai kandungan. Tapi saya belum menemukan diagnosis yang tepat,” jelas Rini.
Advertisement
Bertemu dokter autoimun
Rini dan keluarga, yang kini tinggal di Bandung pergi ke Jakarta untuk memeriksakan diri. Ia pergi ke Antam Medika dan ditangani dokter autoimun. Untuk berobat ke Antam Medika, yang berlokasi di Jakarta Timur, Rini mengakui, harus mengantre satu bulan.
Setelah memaparkan singkat apa yang dialami, dokter autoimun langsung mendiagnosis Rini dengan sjogren syndrome (penyakit autoimun). Ketika mendengar diagnosis sjogren syndrome, Rini menerima penyakitnya. Ia sudah memperkirakan dirinya mengidap penyakit tersebut.
“Saya akhirnya bertemu dokter yang mendiagnosis dengan tepat. Dokter yang kompeten di bidangnya. Reaksi pertama kali mendengar diagnosis, saya malah tenang dan bahagia. Ya, akhirnya saya tahu penyakit yang saya alami. Saya jadi lebih baik daripada empat tahun lalu. Ini karena sudah tahu diagnosis penyakitnya,” ungkap Rini.
Setelah bertemu dokter autoimun, Rini diberikan delapan obat dan satu vitamin. Obat ini berupa obat antimual juga imun. Lantas apakah minum obat sebanyak itu tidak membuatnya bosan?
“Enggak bosan. Justru minum obat itu membuat hidup lebih bersemangat. Apalagi saya juga bisa mengurus anak-anak saya yang berkebutuhan khusus."
Mual sampai diopname
Dalam perjalanan menghadapi penyakitnya, Rini juga mengalami mual hampir tiap hari. Terlebih lagi, ia mual selama tiga bulan terakhir ini. Akibat mual, makan pun tidak berselera.
Meskipun begitu, ia menyadari tubuh harus tetap berenergi. Ia tetap harus makan. Demi membantu Rini makan, sang suami menyuapinya tiap pagi.
Puncak penyakit autoimun mulai memburuk setahun lalu. Ia mengalami meriang dan diare pada Mei 2016. Kondisi serupa kembali terjadi pada Juni 2017. Bahkan Rini harus diopname selama 5-7 hari.
Selama diopname di rumah sakit, Rini diberikan suntikan antibiotik.
Advertisement
Makanan yang dihindari
Penyakit autoimun yang dideritanya membuat Rini harus menghindari dua makanan, yakni gluten (gandum) dan susu. Gluten menimbulkan reaksi alergi. Reaksi ini terjadi saat dirinya makan gorengan. Kebanyakan gorengan mengandung gluten.
Susu menimbulkan gangguan saluran pencernaan. Ia mengalami diare kronis.
“Saya mengalami diare parah. Bahkan sampai lendir pada mukosa usus—yang berada di tengah saluran pencernaan—keluar. Tapi pernah juga pada suatu waktu, saya lupa harus menghindari susu. Saking capainya, segar kaliya kalau minum susu. Saya telanjur minum,” ujar wanita kelahiran Magelang, 16 Agustus 1969.
Dukungan keluarga dan sahabat
Semenjak Rini mengalami gejala penyakit autoimun, keluarga inti memberikan dukungan yang besar. Sang suami menyuapi Rini saat sedang mual-mual. Pun begitu dengan anak-anak Rini yang berkebutuhan khusus.
Kedua anak rini yang ABK, berusia 20 dan 15 tahun ikut membantu sang ibu membuatkan minuman.
“Anak-anak saya yang ABK itu paham kondisi saya yang sakit. Mereka membantu saya membuatkan minuman atau menyediakan air putih. Saya bersyukur, mereka tumbuh menjadi anak yang empati. Anak saya yang sulung, 21 tahun juga empati,” ungkap Rini terharu.
Tak hanya dukungan keluarga saja, dukungan sahabat juga sangat membantu Rini. Sahabat-sahabat Rini memberikan semangat atas pengobatan dan perawatan yang dijalani Rini.
Terlebih lagi sahabat-sahabat Rini dari organisasi kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Rini merupakan lulusan ITB. Sebelum pindah ke Bandung, Rini tinggal di Bekasi selama 12 tahun.
Di awal-awal kepindahannya ke Bandung, Rini dan keluarga harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Alasan ia pindah ke Bandung demi membuat anak-anak Rini yang berkebutuhan khusus hidup terjamin.
Dari informasi yang diperoleh, lingkungan di Bandung cukup menunjang anak-anak berkebutuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dibandingkan di Bekasi. Akhirnya, ia pindah ke Bandung pada awal 2013.
Kebutuhan finansial sempat terkendala saat Rini pindah ke Bandung. Ia harus menabung untuk kebutuhan biaya terapi anak-anaknya yang berkebutuhan khusus sebesar Rp 20 juta per bulan. Ia juga harus mencarikan sekolah dua anaknya.
Sekolah yang dipilihnya termasuk sekolah terbaik dan membutuhkan biaya sekolah Rp 20 juta. Anaknya yang SMA juga harus pindah sekolah dan membutuhkan biaya Rp 25 juta.
Tatkala mengetahui kondisi finansial keluarga yang masih kekurangan, sahabat-sahabat Rini dari organisasi di kuliahnya ikut menyumbangkan dana. Awalnya, sumbangan dana diberikan selama tiga bulan. Tapi melihat Rini yang masih harus beradaptasi dengan lingkungan baru, mereka ingin mendukung biaya kebutuhan Rini dan keluarga selama setahun.
Rini sempat meminta untuk menghentikan aliran dana sumbangan biaya tersebut. Namun, sahabat-sahabatnya tetap menyokongnya. Demi membuktikan diri, kebutuhan finansialnya cukup, Rini mulai mencari pekerjaan. Ia memproleh pekerjaan sebagai tutor untuk mengajar matematika.
Hasil dari mengajar matematika ternyata membantunya mencukupi kebutuhan Rini dan keluarga. Sokongan dana dari sahabat-sahabatnya dihentikan.
Advertisement
Jual buku daring
Untuk tambahan biaya hidup, di awal 2015, Rini juga mencoba menjual buku-buku hasil karyanya sendiri lewat Facebook miliknya. Rini menawari, siapa saja yang ingin membelibuku-bukunya. Dalam sekejap, buku-buku hasil karyanya langsung laris dipesan.
Takjub melihat peluang tersebut. Rini mulai menjual buku secara daring (online). Ia mulai mengelola sendiri produksi buku dan memasarkannya. Sejak 2015 hingga sekarang, 30 ribu eksemplar buku karyanya sukses dipasarkan.
Meskipun didera penyakit autoimun, Rini berpikir untuk berprasangka baik. Ia senang atas rezeki yang diberikan Tuhan kepadanya. Rini juga ringan tangan untuk membantu orang lain yang sedang dalam kesulitan.
“Saya ini sering mendapatkan bantuan dari orang lain. Tapi saya sebenarnya sedih, kalau penyakit autoimun saya kambuh, saya tidak bisa membantu orang lain. Saat saya dalam keadaan yang cukup baik, saya berupaya membantu orang lain. Pernah ada orangtua yang punya anak mengidap cerebral palsy. Saya bantu mencarikan donasi. Ternyata donasi Rp 2,8 juta bisa terkumpul buat si A,30 juta buat si B, 10 juta buat si C,” ungkap Rini sambil sedikit terisak.
Yang membuat Rini sedih adalah justru pada saat sakit ia jadi tidak bisa menolong anak-anak yang biasa dibantunya. Namun Rini bertekad untuk sembuh. Banyak anak membutuhkan bantuan tangannya.
Edukasi ke pengguna medsos
Salah satu aktivitas Rini sehari-hari adalah mengedukasi soal penyakit autoimun. Ia pun aktif membagikan informasi soal pengalamannnya di laman Facebook miliknya.
Mulai dari menceritakan gejala yang dihadapi sebelum didiagnosis penyakit autoimun sampai pengobatan atau hal-hal yang ia lakukan sehari-hari.
“Status-status saya di Facebook itu untuk mengedukasi pembaca lain. Saya harap, mereka bisa lebih paham soal kesehatan,” tutup Rini
Advertisement