Liputan6.com, Jakarta Warung makan khas Jawa yang dulunya merupakan bengkel motor ini lahir dengan sedikit "keberanian". Dari ratusan rumah makan yang ada di kawasan Kota Batu, Jawa Timur, mungkin hanya warung milik Sukarli Arief, 72 tahun, yang terang-terangan menyebut tidak mencampurkan micin di dalam setiap masakannya.
Hal itu tampak dari jargon "Lezat Nikmat Sedap Resep Kuno Tanpa Vetsin" yang tertulis di bagian atas pintu geser bagian muka rumah makan ini. Ini seperti bentuk sebuah jaminan dari sang pemilik tempat bahwa perut para pengunjung akan dimanjakan dengan makanan berbumbu-bumbu alami.
Baca Juga
Penulis bersama para pemenang Jelajah Gizi 2017 sudah mencoba dan merasakan sensasi "makan tanpa rasa takut" pada Jumat, 13 Oktober 2017.
Advertisement
Sesudah menempuh perjalanan udara selama 1,5 jam dari Jakarta ke Malang, kemudian berlanjut dengan menaiki bus pariwisata menuju Batu selama 45 menit, rombongan Jelajah Gizi Malang 2017 yang dipilih setelah mengikuti kompetisi foto makanan dengan tema “From Local To International” di Instagram, sampai di warung makan yang berada persis di depan masjid At-Taqwa.
Rumah makan yang menyajikan makanan rumahan ini tutup selama waktu salat tiba.
Sebanyak tujuh menu, yang terdiri dari makanan kaya serat seperti urap, pecal, dan sayur lodeh untuk campuran nasi campur; protein hewani berupa ayam bumbu rujak; protein nabati seperti tahu, tempe, menjes, dan mendol; dan krengsengan. Krengsengan ini berisi jeroan sapi dan daging yang dimasak kuah dengan rasa sedikit gurih dan pedas.
Ada tiga jenis makanan yang bikin penulis penasaran, yaitu menjes, mendol, dan tentu saja krengsengan. Baik tempe, tahu, maupun menjes dan mendol sebenarnya berasal dari "ibu" yang sama, kedelai. Yang membedakan adalah mendol terbuat dari tempe yang sudah agak basi kemudian dicampur tempe segar. Keduanya ditumbuk halus dan diberi bumbu-bumbu terdiri dari bawang putih, kencur, cabai merah, garam, ketumbar, dan terasi.
Adapun menjes yang berbentuk segi empat terbuat dari kedelai hitam (ampas tempe). Itu untuk menjes dengan tekstur yang kasar. Bisa dibilang mirip "oncom yang gagal". Untuk menjes bertekstur halus, terbuat dari ampas tahu dan ampas kelapa. Supaya lebih nikmat ketika menyantapnya, goreng dengan campuran tepung dan jangan lupa cocolan sambal atau cabai rawit.
Bagaimana dengan krengsengan? Pada dasarnya, penulis adalah penikmat makanan yang serba-jeroan, apalagi babat. Kalau lagi makan sup kaki kambing, dua bagian dari tubuh sapi itu tak boleh terlewatkan. Ketika mencoba krengsengan ini, bawaannya pengin tambah, tambah, dan tambah lagi. Namun, penulis refleks mengeluarkan kata-kata yang tak pantas saat pertama kali mencoba menu andalan ini. Asli. Pedasnya juara. Bukannya mau berhenti, malah jadi ketagihan.
Biasanya sehabis menyantap makanan yang ada campuran micin atau vetsin, lidah bagian ujung penulis terasa tidak enak. Tenggorokan pun kering. Namun, tidak demikian kala menyantap seporsi, atau bahkan lebih, krengsengan ini. Rasa gurih dan pedas bercampur dengan amat baik.
Verry, salah satu pemenang Jelajah Gizi Malang 2017 dari Jakarta, mengaku suka makanan ini. Padahal, kata dia, bukan orang yang menyukai jeroan apalagi babat. Dia mau mencoba karena rasa penasaran, dan tentu saja embel-embel tanpa micin itu.
"Serius, krengsengan ini enak banget. Rasa manis dan pedas kuahnya, top banget. Baru kali ini makan makanan seperti ini dan langsung suka," kata Verry.
Bahan-bahan yang digunakan selalu segar
Beruntung para peserta dapat bertemu dan berbincang langsung dengan Sukarli Arief. Ia lulusan elektro yang kemudian banting setir dengan membuka warung makan khas Jawa. Semua resep ini dia dapat dari sang ibu. Oleh karena itu, dia berusaha menjaga keaslian dari masakan-masakan tersebut dengan tidak menggunakan micin.
Menurut Sukarli Arief, masakan Jawa itu aslinya tidak ada yang menggunakan micin. Orang-orang mencampurkan micin untuk mengurangi penggunaan bumbu. Sementara dia berusaha tidak mengurangi bumbu sama sekali.
"Semuanya fresh. Rasa gurih itu kami jamin bukan dari micin. Menggunakan campuran bahan-bahan alami (yang dirahasiakan)," kata Sukarli Arief.
Konon, penambahan micin di setiap masakan yang ada di rumah makan untuk menambah rasa nikmat, sehingga orang-orang tertarik untuk datang lagi. Ya, dengan kata lain, biar laku.
Sukarli Arief tak memedulikan itu. Dia yakin, rasa alami dengan menggunakan bahan-bahan yang segar dan masih asli, yang membuat warung itu mampu bertahan selama 20 tahun lebih.
"Saya berani bersaing rasa," kata dia menekankan.
Ia telah membuktikan, dengan semakin banyaknya warung makan di kawasan Batu, terutama yang berdekatan dengan warung makan khas Jawa itu, tapi warungnya masih tetap laku dan banyak pengunjung yang mau datang.
"Kami bisa bersaing selama bertahun-tahun dengan begitu banyak ratusan rumah makan. Dekat-dekat sini saja, setiap pintu buka warung," kata Sukarli Arief menambahkan.
Warung makan khas Jawa yang menyajikan lebih dari 20 menu dan buka dari pukul 07.00 sampai 20.30 WIB ini berada di Jalan Diponegoro, Kelurahan Sisir, Kota Batu, Jawa Timur. Selain menu-menu di atas, Anda bisa menikmati menu lain yang tak kalah nikmat, seperti rawon, sup buntut, soto babat, dan nasi Bali.
Advertisement
Kemungkinan bahan-bahan ini yang dipakai sebagai pengganti micin
Menurut ahli gizi dari Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Prof Ir Ahmad Sulaeman MS PhD, yang ikut bersama rombongan mengatakan kemungkinan besar rasa gurih dari setiap makanan di Warung Makan Khas Jawa itu berasal dari tomat maupun terasi.
Micin adalah sodium glutamat yang terdiri Na, asam glutamat, dan H2O. Asam glutamat adalah asam amino esensial yang ada pada protein. Asam glutamat dihasilkan melalui proses fermentasi tetesan tebu oleh bakteri brevi-bacterium lactofrementum. Adapun, asam glutamat terbanyak ada di tomat, keju, dan terasi.
"Kalau enggak pakai micin bisa perbanyak tomat dan terasi biar gurih. Jamur juga begitu. Semua itu kandungan micinnya banyak," kata Prof Ahmad.
Kandungan glutama di tomat adalah 946 dan terasi 1.100. Prof Ahmad mengatakan, di kecap dan sayuran pun mempunyai kandungan itu.
Semakin matang tomat, semakin banyak pula glutamat di dalamnya. Itulah mengapa saat meracik sambal terasi yang digunakan adalah tomat yang matang, bukan tomat hijau.