Liputan6.com, Jakarta Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, Profesor Budi Hidayat, SKMM, PhD, mengatakan, harga rokok perlu terus dinaikkan sampai melebihi kemampuan membayar masyarakat (ability to pay). Tujuannya tentu untuk mengurangi jumlah perokok, dan menjegal kenaikan angka perokok baru.
Hal tersebut diutarakan Prof Budi dalam diskusi bertajuk "Urgensi Menaikkan Harga dan Cukai Rokok" yang digelar di Jakarta, Kamis (26/7/2017) kemarin.Â
Baca Juga
"Kenaikan harga rokok itu idealnya mencapai 150-170 persen," ujarnya. Menurut Prof Budi, kenaikan sebesar itu dinilai aman dan bisa memangkas jumlah perokok atau setidaknya mengurangi konsumsi rokok mereka.
Advertisement
"Kenaikan sebesar itu tidak akan berefek pada industri. Artinya, tidak akan menyebabkan kemiskinan, pengangguran, atau kerugian fiskal pemerintah," ia melanjutkan. Di sisi yang sama, dengan kenaikan sebesar itu, harga rokok akan berada di atas kemampuan membeli rata-rata masyarakat Indonesia.
Sayangnya, kemungkinan besar kenaikan sejauh itu mustahil diwujudkan, setidaknya dalam waktu dekat. Rencana ini pasti akan ditolak mentah-mentah oleh industri rokok.
"Industri rokok tidak akan mau menaikkan harga (sampai sejauh itu) karena mereka akan kehilangan pembeli sensitif, yaitu pembeli yang uangnya terbatas, seperti anak-anak atau pelajar," ujar dr Nurul Nadia HW Luntungan, MPH, dari Komisi Nasional Pengendalian Tembakau.Â
Mengutip pernyataan Prof Budi Hidayat, Indonesia memang bak surga rokok. Murahnya harga rokok memungkinkan siapa pun bisa merokok di mana saja.Â
Satu bungkus rokok di Indonesia harganya rata-rata Rp 20 ribu. Di Singapura, satu bungkus rokok bisa lebih dari Rp 100 ribu, tak jauh berbeda dari Malaysia, Thailand, dan Australia.
Faktanya, harga cukai rokok di Indonesia memang jauh lebih rendah dari yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia. Faktor ini salah satu pendukung rokok bisa dijual murah di Indonesia.
Baru-baru ini, harga cukai rokok baru saja sukses dinaikkan 10 persen. Keputusan ini sekilas memang signifikan, tapi pada praktiknya hal ini tidak membuat perbedaan.
Jumlah Perokok Anak Meningkat
Abdillah Hasan, SE, MSE, dosen dan peneliti di Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia mengungkapkan data, kampanye industri rokok adalah untuk membidik perokok generasi baru, dan mereka cukup berhasil melakukannya sampai saat ini.
"Jumlah perokok usia 15-19 tahun di Indonesia meningkat drastis dalam 18 tahun terakhir. Jadi bisa dibilang usahanya perusahaan rokok ini sukses," ujarnya.
Tahun 1995, jumlah perokok usia 15-19 tahun hanya sekitar 7 persen, tapi pada 2013 mencapai 20 persen. Usia pertama orang merokok pun turun. Kalau 1995, kebanyakan orang mulai merokok di usia 19 tahun ke atas; pada 2013, 50 persen perokok mulai merokok di bawah usia 19 tahun.
"Mengurangi jumlah perokok di Indonesia sudah tidak bisa lagi dengan edukasi," ucap Nurul. "Sudah harus dengan mengatur kebijakan."
Dengan menaikkan harga cukai rokok, atau harga rokok di pasaran sampai di atas kemampuan membeli rata-rata masyarakat, hal ini bisa memutus rantai generasi perokok baru di Indonesia.
Selama harga rokok masih seperti saat ini, apalagi jika industri rokok masih terus mengiklankan harga rokok mereka untuk per batangnya, generasi perokok baru (anak-anak atau pelajar) akan terus terjerat.
Advertisement