Liputan6.com, Jakarta Bagi kebanyakan wanita, keguguran sekali saja cukup meninggalkan luka, menguras energi, hingga membuat frustrasi. Namun, Puspitasari (47) mengalami kehilangan calon buah hati akibat keguguran hingga delapan kali.
Bagai petir di siang bolong, hasil diagnosis dokter menunjukkan jika Ita--begitu ia akrab disapa--menderita Antiphospholipid antibody syndrome (APS). Kelainan darah yang membuat darahnya mudah mengental dan muncul sumbatan di pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah tak lancar sehingga keguguran berulang.
Baca Juga
Sejak 2004 hingga 2009, Ita mengalami keguguran terus-menerus ketika ingin hamil anak kedua. Kelainan darah yang dialaminya membuat janin tak bisa bertahan lama. Untuk mengatasi hal itu, dokter menyarankan mengonsumsi dan menyuntikkan obat pengencer darah agar darah tak mudah mengental.
Advertisement
Demi bisa menimang anak kedua, Ita rela mengonsumsi dan menyuntikkan obat pengencer darah di perut. Dia bahkan semangat memeriksakan diri seminggu sekali untuk memantau kekentalan darahnya. Bolak-balik mengunjungi dokter spesialis penyakit darah dan kandungan, tak jadi masalah baginya. Kandungan Ita yang biasanya luruh dalam hitungan beberapa minggu, kini berhasil bertahan hingga usia tujuh bulan.
Harus lahir dengan cara caesar
Pada suatu titik tertentu di usia kandungan 33 minggu, dokter spesialis darah mengatakan, bayi di dalam rahim Ita harus keluar (lahir). Ini karena efek suntikan pengencer darah tidak bisa efketif bekerja. Akhirnya, Ita harus segera melahirkan secara caesar. Ia diberikan waktu dua hari untuk persiapan melahirkan. Berat badan bayi seberat 2,5 kg.
“Buat orang yang menderita kekentalan darah, itu miracle (keajaiban)—bayi ajaib. Padahal, asupan makanan bisa berkurang karena kekentalan darah. Berat bayi bisa 1,7 kg atau 1,9 kg. Nah, kenapa bayi saya bisa 2,5 kg? Itu karena tiap dua kali seminggu saya rajin akupunktur. Selain itu, saya rutin minum temulawak,” ucap Ita tersenyum.
Terapi akupunktur sudah dijalaninya sejak berusia 32 tahun. Tatkala tidak enak badan, ia akan menjalani perawatan akupunktur. Setelah didiagnosis kekentalan darah, dokter menyarankan untuk akupunktur. Badan jadi lebih bugar dan bayi juga lebih besar.
Bagi Ita, akupunktur bermanfaat kalau kita sudah terdeteksi menderita penyakit apa. Terapi yang dilakukan juga lebih tertuju ke bagian tubuh yang sakit. Akupunktur boleh dilakukan, tapi hanya sebagai pelengkap.
Upaya yang dilakukan Ita melalui akupunktur tersebut untuk melancarkan peredaran darah. Dokter tidak terlalu cemas dengan kondisi bayi karena berat badan 2,5 kg termasuk aman dan bayi diprediksi akan sehat. Ita bersyukur, kehamilan berhasil diselamatkan tak hanya berkat bantuan dokter spesialis penyakit darah melalui sesi konsultasi yang rutin dijalaninya, melainkan dengan akupunktur dan temulawak juga.
Saksikan juga video berikut ini:
Bayi kedua Ita kurang protein
Meski telah lahir selamat, bayi kedua ini ternyata mengalami sakit kuning dan harus menerima perawatan intensif selama seminggu. Ita menduga sakit kuning yang diderita bayinya kemungkinan karena sang jabang bayi belum siap untuk lahir.
Bayi perempuan itu pun kemudian disuntik penambah protein. Ini karena bayi kurang protein. Keterlambatan asupan makanan ketika dalam kandungan akibat kekentalan darah Ita membuat protein yang masuk ke bayi menjadi kurang. Maka, selama lima hari, bayi perempuan itu disuntik protein.
Selain bayi mengalami sakit kuning usai dilahirkan, ada kendala lain yang juga dialami Ita usai bersalin. Sakit kepalanya masih belum hilang.
Dua hari menjelang melahirkan, Ita tidak diperbolehkan minum obat pengencer darah. Bisa jadi karena dianggap membahayakan janin saat operasi caesar. Darah bisa terlalu encer. Selama beberapa menyusui, ia juga tidak boleh minum obat pengecer darah. Akibatnya, Ita harus menahan sakit kepala luar biasa.
Advertisement
Rebusan daun sukun gantikan obat pengencer darah
Masalah kekentalan darah yang dihadapi Ita membuatnya tidak boleh makan sayuran hijau. Sayuran hijau membuat darah lebih kental. Tak hanya sayuran, buah-buahan juga tidak boleh sembarangan dimakan, terutama buah yang bergetah, misal nangka dan sawo. Getah dapat membuat proses pencernaan melambat.
“Ada cara kalau saya lagi pengin makan sayur. Saya harus minum obat pengencer darah sebelum dan sesudah makan. Apalagi kalau lagi kepengin makan gado-gado. Ya, harus minum obat pemgencer darah dulu. Kalau pas makan terasa pusing, maka sesudah makan juga harus minum obat,” lanjut Ita.
Obat pengencer darah yang seharusnya diminum tiga kali sehari bisa diminum lima kali sehari. Pun begitu dengan makan buah atau minum jus buah. Setelah minum jus buah, ia harus minum lebih banyak air putih. Dalam sehari, Ita harus minum tiga liter air putih.
Hingga tiga tahun lalu, ada penelitian terbaru LIPI soal daun sukun. Hasil rebusan menunjukkan, rebusan daun sukun bisa membuat kekentalan darah berkurang. Ita pun memanfaatkan peluang tersebut. Ia meminta bantuan saudara yang tinggal di daerah Cakung untuk mendapatkan daun sukun.
“Yang diambil bukan daun sukun yang muda, melainkan daun yang sudah tua dan berjatuhan. Rebusan daun sukun juga membantu melancarkan peredaran darah. Tinggal direbus dan diminum. Cocok juga buat orang yang darah tinggi, kolesterol tinggi,” ungkap Ita, yang merasa tubuhnya lebih sehat setelah minum rebusan daun sukun.
Anak, alasan Ita bangkit dari depresi
Depresi yang dialami Ita tak hanya soal keguguran berkali-kali. Depresi mencapai puncaknya pada Juli 2010. Di kehamilannya yang berusia lima bulan, rumahnya dibobol maling. Ia tiba di rumah sekitar pukul 19.30 WIB dan tak mendapati rumahnya dibobol saat kosong. Ia pun melaporkan kejadian tersebut ke satpam sehingga polisi datang. Polisi yang datang terdiri atas tiga gelombang. Mereka baru pulang pukul 02.00 WIB pagi.
Kejadian mengejutkan serta keterangan yang harus disampaikan berkali-kali ke polisi dalam durasi yang panjang membuatnya lelah. Perutnya tegang.
Maling tersebut mengambil seluruh barang berharga, seperti perhiasan. Yang paling membuat Ita depresi, maling juga mengambil tiga laptop, yang berisi data disertasi Ita. Pada waktu itu, Ita tengah mengerjakan disertasi.
Rasa lemas karena seluruh data dan wawancara disertasi disimpan di laptop. Sejak Agustus hingga akhir tahun 2010, Ita tetap tak habis pikir dan belum merelakan kejadian tersebut. Ia tidak ingin mengerjakan disertasi dengan topik yang sama. Malu dan tidak terbayangkan bila ia harus mewawancarai narasumber yang sama.
Kala dilanda puncak depresi itu kepalanya sakit dan ia merasa malas, pun enggan untuk konsultasi ke dokter.
Namun, bisa dibilang bayi keduanya menjadi motivasi terbaik Ita untuk bangkit dari depresi. Ia melihat anak perempuannya sebagai anugerah. Ita pun semangat memperbaiki kondisi dan melanjutkan hidup.
“Saya sampai setahun tidak sentuh disertasi. Setelah depresi saya sembuh, saya baru mengerjakan disertasi dengan topik yang beda,” tutupnya.
Advertisement