Sukses

Kaleidoskop Health 2017, Imunisasi MR Jadi Sorotan

Program imunisasi measles rubella (MR) merupakan salah satu peristiwa yang menjadi sorotan publik pada 2017.

Liputan6.com, Jakarta Beragam kejadian di dunia kesehatan Indonesia menjadi sorotan publik di 2017. Di antara sekian banyak kejadian, salah satu yang menyedot perhatian adalah program vaksin Measles Rubella (MR). Berikut ini rangkuman berita kampanye vaksin MR di kaleidoskop 2017.

Imunisasi Measles Rubella (MR) merupakan salah satu kampanye yang dilaksanakan Pemerintah selama Agustus hingga September 2017 di seluruh pulau Jawa. Imunisasi tersebut diberikan secara massal dan cuma-cuma bagi anak usia 9 bulan hingga di bawah 15 tahun. Selanjutnya, kampanye ini akan kembali dilaksanakan pada Agustus hingga September 2018 di seluruh wilayah luar pulau Jawa. Alasan diadakannya kampanye vaksin MR adalah untuk mencegah penyakit measles dan rubella tersebut.

Menurut Kepala Divisi Tumbuh Kembang Pediatrik Sosial Fakultas Kedokteran Unpad - RS Hasan Sadikin, Kusnandi Rusmil, Rubella sering juga disebut sebagai campak Jerman karena gejala yang ditimbulkan dari penyakit ini, seperti demam ringan, adanya bercak kemerahan atau ruam makulopapuler di kulit terutama di wajah, lengan dan kulit kepala, mirip campak biasa.

"Ruam ini hanya terjadi dua hingga tiga hari dan hilang sendiri. Gejala lainnya adalah adanya pembesaran kelenjar Limfe di belakang telinga, leher belakang dan sub oksipital," kata Kusnandi Rusmil dalam keterangannya yang ditulis Health-Liputan6.com, Bandung (15/8/2017).

Kusnandi Rusmil menjelaskan Rubella sangat berbahaya, karena jika menular ke ibu hamil pada awal kehamilan, dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan pada bayi yang dilahirkan yang dikenal sebagai Sindroma Rubella Konginetal atau Conginetal Rubella Syndrome (CRS).

Kusnandi mengatakan CRS adalah sindrom kecacatan pada bayi baru lahir yang meliputi kelainan pada jantung dan mata, ketulian dan keterlambatan perkembangan. Ibu hamil yang terinfeksi virus Rubella kata dia, menulari janinnya melalui saluran plasenta.

"Risiko infeksi tertinggi ialah pada 10 minggu awal kehamilan. Janin beresiko tinggi mengalami kelainan telinga, mata dan jantung. Gangguan pendengaran terjadi jika terinfeksi di usia gestasi 18 minggu. Cacat struktur jantung dan mata terjadi jika infeksi di usia gestasi kurang dari 8 minggu," ujar Kusnandi.

Dia menyatakan, infeksi itu juga dapat mengakibatkan gangguan perkembangan lainnya, seperti pembesaran hati dan limpa, berat badan lahir rendah, Diabetes tipe 1 dan Hipertiroid. Yang paling berbahaya tegasnya adalah terjadinya kematian bayi di dalam kandungan. Untuk mencegah terjadinya CRS, imunisasi dengan vaksin MR merupakan upaya pencegahan yang terbaik. 

 

Saksikan video menarik berikut :

 

2 dari 5 halaman

Program vaksin MR

Kampanye imunisasi MR ini tak lain merupakan wujud komitmen pemerintah untuk mengeliminasi penyakit campak yang pernah mewabah pada 2010-2014 di Indonesia. Demikian pula dengan penyakit rubela yang kian menjadi masalah tak hanya di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lain.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada 2010-2015 mencatat setidaknya ada 6.309 anak yang terserang rubela. Sebanyak 77 persen di antaranya berusia kurang dari 15 tahun. Selain itu, 556 bayi terlahir cacat pada 2015-2016 akibat serangan virus rubela ketika dalam kandungan ibu. Ini tentu saja menjadi ancaman bagi masa depan bangsa.

Pemerintah bertekad untuk menuntaskan pekerjaan rumah mengeliminasi campak dan mengendalikan penyakit rubela dan kecacatan bawaan akibat rubela pada 2020. Untuk itu, kampanye imunisasi MR tahun ini menyasar 34.9 juta anak di enam provinsi di Pulau Jawa. Pemerintah menargetkan 95 persen dari jumlah total anak tersebut mendapat vaksin MR.

"Campak dan rubela ini hanya menyerang manusia, bukan hewan dan bukan lingkungan. Jadi kalau imunisasinya mencapai target, campak dan rubela ini bisa dimusnahkan," papar Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Dr. Elizabeth Jane Soepardi MPH. DSc, di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, saat ditemui Health-Liputan6.com pada Juli lalu.

Hal senada juga diutarakan oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, dr. H. Mohamad Subuh, MPPM. Dia mengimbau agar anak-anak yang telah mendapatkan imunisasi campak tetap menjalani imunisasi MR guna mendapatkan kekebalan terhadap campak dan rubela.

"Kami menargetkan pelaksanaan imunisasi ini sebesar 90 persen agar dapat menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity). Bagi ibu-ibu yang anaknya sudah diimunisasi campak tetap diberi imunisasi MR agar mendapat kekebalan terhadap campak dan rubela," ucap dr. H. Mohamad Subuh.

Dr. Elizabeth Jane Soepardi mengatakan, apabila sekitar 95 persen dari masyarakat yang dibidik melakukan imunisasi MR, maka lima persen lainnya akan ikut kebal terhadap virus tersebut.

3 dari 5 halaman

Kejadian ikutan pasca vaksin MR

Meski diberikan secara gratis, namun kampanye vaksin MR tidak berjalan mulus. Hal ini disebabkan beberapa laporan mengenai efek yang diduga terjadi setelah pemberian vaksin tersebut. Laporan-laporan tersebut membuat para ibu ragu untuk memberikan vaksin MR pada anak mereka.

Kabar seorang siswi di Demak yang kemudian menjadi sulit berjalan usai mendapat vaksinasi MR dan menjadi viral di media sosial juga turut mewarnai keraguan ortu untuk mengizinkan anak mereka divaksin. Meski kemudian hasil pemeriksaan lanjutan belum dapat membuktikan bahwa kondisi sulit berjalan gadis tersebut terkait dengan vaksinasi MR yang didapatnya.

Ada pula orangtua yang terang-terangan menolak anaknya divaksin lantaran menganggap tindakan tersebut bertentangan dengan keyakinan agama seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Orangtua dari 300 anak lebih di Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, dan Temanggung menolak imunisasi. Hal itu dipastikan oleh Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Provinsi Jawa Tengah, dr Yulianto Prabowo.

“Ada pemahaman dari tokoh agama yang menyatakan bahwa vaksin MR tidak boleh,” ujar dr Yulianto. “Memang tidak semua warga di desa itu menolak. Yang menolak hanya sebagian warga desa,” lanjutnya. Yulianto mengungkapkan rupanya para orangtua itu menganggap vaksin MR mengandung zat yang diharamkan agama.

Hal serupa pun terjadi di Banyumas, tepatnya di wilayah kaki Gunung Slamet. Sebuah sekolah yang bernaung di bawah sebuah yayasan keagamaan sempat menolak imunisasi MR. Namun, Kadinkes Kabupaten Banyumas, Sudiyanto, segera menugaskan tim guna melakukan pendekatan pada camat, kepala desa, tokoh masyarakat, serta tokoh agama setempat.

Belakangan, diketahui penolakan tersebut lantaran ada kekhawatiran dampak pascavaksinasi berupa kelumpuhan seperti yang terjadi di Demak. Untungnya tim yang ditugaskan Sudiyanto berhasil menerangkan bahwa vaksin MR aman dan kejadian yang dikhawatirkan itu hanya bersifat kebetulan, serta tidak terbukti disebabkan oleh pemberian imunisasi MR. Ratusan siswa di sekolah tersebut pun kemudian bersedia divaksin.

Kabar mengenai siswi yang sulit berjalan usai imunisasi MR di Demak pun turut dicermati Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait. Meski secara umum mendukung program imunisasi karena anak memiliki hak asasi untuk hidup sehat, Arist meminta Kementerian Kesehatan RI untuk mengevaluasi atau jika perlu menghentikan sementara program tersebut.

"Dihentikan sementara dulu programnya. Ini kan ada dampak yang perlu dilihat dulu kebenarannya, benar tidak anak tersebut lumpuh karena vaksin MR. Ketika sudah diketahui kebenarannya, baru lanjutkan lagi," ujarnya ketika dihubungi Health-Liputan6.com.

4 dari 5 halaman

Laporan selama kampanye vaksin MR

Menurut informasi Ketua Komnas PP KIPI, Hindra Irawan Satari SpA(K), dari sekitar 20 juta anak di Pulau Jawa yang telah mendapatkan imunisasi vaksin campak, ada delapan laporan yang diterima Komnas PP KIPI. Satu di antaranya adalah siswi SMP Demak yang lumpuh, demam, dan alergi obat.

Siswi yang kini dirawat di RS Kariadi Semarang itu, kata Hindra, sebelum diimunisasi memiliki kondisi kaki kanan lebih kecil, mata juling, dan berjalan diseret. Kini, kondisinya telah membaik. "Serangkaian tes sudah dia lakukan seperti CT Scan, EEG, tapi bukti yang ada belum membuktikan kondisi kesulitan berjalan karena imunisasi," katanya.

Komnas PP KIPI yang ditetapkan Menteri Kesehatan RI merupakan tim independen terhadap kasus yang diduga KIPI. Tugasnya melakukan causality assessment, yakni mengkaji data-data yang ada, sehingga bisa mengklasifikasikan kejadian pasca-imunisasi ada hubungan dengan pemberian vaksin atau tidak.

Ada dua faktor utama yang dinilai, ucap Hindra. Pertama onset (awitan), yaitu masa dari mulai penyuntikan sampai timbulnya gejala. Kedua, apakah ada penyakit lain yang mendasarinya, atau kejadian pasca-imunisasi itu terjadi karena memang anaknya sudah sakit atau ada riwayat penyakit sebelumnya.

Dari delapan laporan yang masuk ke Komnas KIPI, berdasarkan causality assesment yang ada belum ditemukan adanya hubungannya dengan pemberian imunisasi MR.

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, dr. Mohamad Subuh, MPPM juga mengungkapkan, bila terjadi dugaan KIPI, jangan dikatakan langsung disebabkan oleh vaksin MR. Harusnya ada konfirmasi dan klarifikasi terlebih dahulu.

"Kalau ada kejadian pasca-imunisasi di kabupaten, maka dinas kabupaten harus melaporkannya kurang dari 24 jam,'' kata Subuh.

Demam ringan, ruam merah, pegal-pegal, bengkak ringan dan nyeri di tempat suntikan merupakan reaksi normal usai mendapatkan imunisasi MR. Kondisi tersebut, kata Kementerian Kesehatan RI, akan hilang dalam dua-tiga hari sesudah imunisasi.

 

5 dari 5 halaman

Target terlampaui

Meski menemui sejumlah hambatan, pada akirnya kampanye vaksin MR berhasil melampaui target. Cakupan Imunisasi Measless Rubella (MR) tahap pertama selesai pada Sabtu (30/9). Hasil cakupan melampaui target yang telah ditetapkan, yakni 34.964.384 anak (97,69%).

Target cakupan imunisasi Measless Rubella (MR) pada tahap pertama (1 Agustus-30 September 2017) di Pulau Jawa adalah 95%. Berdasarkan data dari Pusdatin Kemenkes, terhitung 61 hari (1 Agustus hingga 30 September 2017) cakupan imunisasi telah melebihi persentase yang ditetapkan Kemenkes.

Cakupan di DKI Jakarta mencapai 89,89%, Jawa Barat 92,58%, Jawa Tengah 104,07%, DI Yogyakarta 95,62%, Jawa Timur 105,32%, dan Banten 88,08%.

Melalui pemberian imunisasi MR ini, masalah penyakit campak dan rubella akan serta cacat bawaan pada bayi akibat rubella diharapkan bisa dihindari. Imunisasi ini penting dilakukan karena sampai saat ini belum ada obat untuk penyakit rubella.

Cakupan imunisasi MR tahap kedua akan dilaksanakan di seluruh provinsi di luar Pulau Jawa, yakni Agustus hingga September 2018. Diharapkan dari cakupan imunisasi MR tahap kedua ini dapat mencapai target bahkan lebih dari target yang sekarang.

Target itu dimaksudkan agar eliminasi campak dan pengendalian rubella dapat terwujud pada 2020. Melalui imunisasi ini diharapkan kesehatan anak yang berkualitas dapat terwujud dan merata.