Liputan6.com, Jakarta "Sesampainya di Afghanistan, saya jalan ke pasar. Saya pertama kali motret (ambil foto) itu orang Afghanistan yang sedang cukur rambut di tengah pasir, pinggir jalan pasar. Itu kan bagus ya (latarnya) buat foto. Jadi, langsung motret saja. Ketika motret, lensa kamera saya langsung ditutup dan diturunkan gitu. Mereka langsung menunjukkan, sikap bermusuhan dan enggak suka."
Baca Juga
Advertisement
Kesan itulah yang tertanam di memori Adek Berry, 46, jurnalis foto Kantor Berita Prancis (Agence-France Presse), biro Jakarta, saat bertugas di Afghanistan pada 2011. Walaupun sebelum memotret Adek sudah melakukan pendekatan berupa ekspresi dan senyum, rupanya itu tidak mempan.
Menurut Adek, penyebab ia diperlakukan seperti itu karena orang Afghanistan tidak terbiasa melihat perempuan yang berada di tengah jalan sendirian. Terlebih lagi dirinya sebagai jurnalis foto perempuan, yang kehadirannya juga tidak terbiasa bagi orang Afghanistan. Foto juga dinilai sebagai barang haram bagi kaum Taliban di Afghanistan.
Kunci agar aman, sambil motret, Adek selalu bersikap waspada. Lain halnya, saat Adek bertemu dengan para perempuan Afghanistan. Ia merasakan nyaman dan para perempuan Afghanistan pun senang dengan kehadiran Adek.
Apalagi Adek seorang Muslim berhijab dan berasal dari negara Islam. Adanya faktor tersebut membuat penduduk perempuan Afghanistan langsung menerima kehadiran Adek dengan sukacita.
Pada waktu di sana, Adek juga bertemu direktur penanganan perempuan Komnas HAM di ibukota Afghanistan, Kabul. Adek langsung merasa senang dan sangat terbantu dengan berbagai informasi. Informasi yang diperoleh lebih mudah.
"Rasanya seperti saya bagian dari dia (direktur penanganan perempuan Komnas HAM). Dia sampai bilang, 'Kamu itu mukanya seperti orang Afghanistan.' Muka perempuan yang datang ke sana itu ada yang seperti Cina banget dan muka Melayu. 'Kalau kamu enggak bicara, orang enggak akan tahu, kalau kamu bukan orang Afghanistan," tutur Adek kala berbincang dengan Health Liputan6.com di SCTV Tower, Senayan City, Jakarta, ditulis Rabu (13/12/2017).
Adek, ibu dari dua anak, merasa diterima oleh perempuan Afghanistan. Mereka juga langsung terbuka.
"Padahal, sulit sekali lho untuk masuk ke sana (dapat informasi dari perempuan Afghanistan). Berkat itu, saya pernah tembus dapat informasi soal perempuan yang melarikan diri dari keluarga, perempuan yang melarikan diri karena kawin paksa. Juga perempuan yang melarikan diri, tidak diterima keluarga karena dirinya dipenjara," kata perempuan kelahiran Curup, 14 September 1971.
Sulit mendapatkan penampungan bagi para perempuan Afghanistan yang melarikan diri. Mereka lebih banyak tertutup, terutama kepada pers. Menurut mereka, pers berdampak negatif karena mereka tidak mendapatkan sponsor.
Â
Â
Simak video menarik berikut ini:
Dari pelatihan sampai jogging pakai jaket anti peluru
Penugasan Adek ke Afghanistan harus melalui tahap pelatihan (training) terlebih dahulu. Ia ikut pelatihan tahun 2010 di Hong Kong. Pelatihan berupa simulasi ini dipersiapkan untuk jurnalis AFP agar sanggup bertugas di medan apa saja dan dalam peliputan yang beragam, baik liputan konflik, bencana, olahraga, dan lainnya. Pelatihan ini bernama hostile environment training.
Persiapan mental sebelum diterjunkan ke negara konflik juga dilakukan Adek. Ia banyak bertanya kepada senior dan bos yang pernah bertugas di Afghanistan dan membaca berbagai literatur. Berbagai persiapan ini membuat kondisi Adek agar tetap fit dan mampu mengontrol segala situasi agar tidak menyusahkan orang lain.
Selain itu, Adek juga disuruh latihan lari dan jogging sambil memakai jaket anti peluru. Awalnya, ia memang berat melakukan hal tersebut.
"Saya pikir, kalau lari aja sih enggak apa-apa. Tapi di sana (Afghanistan) dibilangnya, tiap hari kita bakal patroli dengan jaket anti peluru. Jadi, jogging sambil pakai jaket anti peluru membuat terbiasa. Ngos-ngosan juga. Pas saya sampai di sana, ternyata nyaman dipakai. Ini karena saya sudah dikondisikan lewat latihan," tutur Adek sambil tertawa.
Tak hanya jaket anti peluru, topi baja pun harus dipakai Adek. Jika liputan embedded dengan pasukkan AS, persyaratan keamanan harus mengenakan jaket anti peluru dan topi baja. Hal tersebut berlaku untuk semua orang, tidak hanya jurnalis saja. Marinir juga pekerja kontraktor ketika keluar dari kamp harus mengenakan kedua perlengkapan itu untuk keamanan pribadi.
Setelah melakukan pelatihan, ia menerima tawaran bertugas ke Afghanistan secara embedded berupa meliput Female Engaggement Team (FET) atau pasukan marinir perempuan Amerika Serikat yang ditugaskan di Afghanistan. Liputan secara embedded artinya Adek meliput ke mana pun FET berpatroli. Dalam hal ini, Adek mendapatkan pengawasan dan didampingi penuh pasukan AS.
Adek mendapatkan kesempatan dua kali meliput secara embedded dengan pasukan marinir AS di Afghanistan. Usai penugasan embedded, ia bertugas liputan mandiri (independent) di Kabul. Artinya meliput berita bebas sesuai dengan topik dan naluri jurnalistik Adek. Â
Advertisement
Pakai pelembab dan mandi
Ada satu perlengkapan pribadi yang wajib dibawa Adek saat bertugas di Afghanistan, yakni pelembab. Ia harus mengenakan pelembab agar kulitnya terlindungi. Hal ini karena perubahan cuaca yang ekstrem, dari dingin ke panas membuat kulit tampak berkerut sehingga terlihat seperti keriput.
"Kalau orang-orang di sana, kulitnya cepat keriput. Apalagi anak-anak yang masuk masa remaja. Mereka enggak biasa menggunakan pelembab. Padahal, anak-anak di sana cantik dan cakep," ucap Adek.
Untuk makan, Adek tidak makan ayam dan daging meski persediaan makanan tersebut selalu ada. Karena ia ikut FET, Adek hanya makan telur, roti, dan sayuran. Kalau makan burger, dagingnya saja yang tidak dimakan. Kalau makan di luar aman karena Afghanistan negara muslim.
Â
Adek juga menceritakan, pengalaman dirinya mandi. Saat tiba pertama kali di Afghanistan, mandi termasuk urusan yang sulit. Ia harus bergantian mandi. Â
"Saya ini jurnalis perempuan sendirian. Di kamp juga sendirian. Jadi, harus dijadwalkan buat mandi. Saya dikasih jadwal mandi jam 9 malam. Waktu itu, saya baru datang. Enggak mungkin banget kalau harus mandi di jam segitu. Lagi pula belum mengenal lokasi, ngeri," Adek mengungkapkan sambil tersenyum.
Pengalaman mandi ini memang lucu. Bahkan Adek pernah tidak mandi berhari-hari. Untuk apa mandi juga kalau berbahaya, lebih baik tidak mandi.
"Bayangin aja, saya di kamp sendirian. Yang penting kan ke kamar kecilnya (toilet)," lanjutnya.
Alami trauma
Selama penugasan di area konflik Afghanistan, Adek tidak merasakan trauma. Trauma yang dialami justru ia dapatkan kala di rumah. Ia mendapat berita duka lewat surat elektronik (surel), rekan kerjanya bernama Sardar Ahmad di Kabul ditembak mati dalam serangan kelompok bersenjata saat menikmati makan malam di Hotel Serena, Kabul.
"Dia sama istrinya, anak pertama, dan anak keduanya ditembak mati. Anak ketiganya selamat tapi luka parah. Saya benar-benar trauma. Saya bekerja dengannya di kantor AFP di Kabul. Kami selalu makan siang bersama di meja besar. Ya, sudah seperti keluarga," cerita Adek.
Kantor AFP di Kabul semacam guest house, lantai atas untuk tempat tinggal para jurnalis sedangkan lantai bawah untuk tempat kerja. Setelah mendapatkan surel tersebut, Adek sempat menutup diri selama dua minggu--tidak membicarakan tentang Sardar.
Trauma Adek sepeninggal Sardar sempat ia bagikan dengan rekan AFP, Katherine Haddon. Katherine juga merasakan trauma.
"Saya enggak percaya kalau dia sudah meninggal. Setelah dua minggu itu, saya baru bisa menyampaikan belasungkawa. Ini juga karena saya dan teman-teman diminta menuliskan memoar tentang Sardar. Saya nulisnya di blog AFP. Sampai sekarang masih trauma," Adek sambil bersedih.
Kedekatan Adek dengan Sardar layaknya keluarga. Rekan Adek termasuk orang yang hangat, pintar, dan sangat membantu Adek soal informasi selama liputan di Afghanistan. Demi mengobati trauma, hingga kini Adek berpura-pura Sardar masih hidup.
"Saya ke tempat (Afghanistan) itu sudah tiga kali dan bekerja sama cukup lama dengan Sardar. Dia bukan orang lain, dia bagian dari keluarga saya," lanjutnya.
Advertisement