Sukses

Kenangan Tsunami Aceh Guncang Hati Fotografer Perempuan Ini

Dua minggu setelah bencana Tsunami Aceh 2004, jurnalis foto Kantor Berita Prancis (Agence-France Presse), Adek Berry ditugaskan meliput.

Liputan6.com, Jakarta Pasca Tsunami Aceh yang terjadi 26 Desember 2004, mayat-mayat masih bergelimpangan di jalan. Di pinggir jalan, tiga kakak beradik saudara kandung sambil berboncengan sepeda motor berhenti sejenak. Mata mereka tertuju ke Lambaro, sebuah kuburan massal. Mereka sedang mencari: "Mungkin ibu kami berada di antara tumpukan mayat itu."

Kesedihan menyeruak di hati jurnalis foto Kantor Berita Prancis (Agence-France Presse), biro Jakarta, Adek Berry saat bertemu ketiga kakak beradik tersebut yang sedang mencari ibu juga enam anggota keluarga lain. Wanita kelahiran Curup, 14 September 1971 pun tak sanggup menahan kesedihan.

"Saya rasa siapapun yang melihat ketiga kakak beradik itu akan sedih. Gimana enggak sedih coba. Kehilangan seseorang yang sangat dekat. Kalau sedih, ya saya lepaskan, menangis. Itu pun kalau saya sudah sampai di kos atau kontrakan dan lagi sendirian. Perempuan kan gampang ya kalau sedih, sambil ingat anak dan keluarga juga di rumah," tutur Adek, yang ditugaskan ke Aceh, dua minggu (Januari 2005) setelah bencana tsunami terjadi.

Kepada Health Liputan6.com, Adek menuturkan, perasaan sedih yang sangat mendalam tidak begitu terasa saat memotret di lapangan. Meski ia menyaksikan mayat-mayat 'disendok' dengan alat berat backhoe, ditumpuk, dan dikubur massal di Lambaro, sedih pun hanya sesaat.

 

Simak video menarik berikut ini:

2 dari 5 halaman

Dikejar deadline

Di lapangan, ia harus bekerja sambil dikejar deadline. Berpacu dengan kondisi yang sangat cepat berubah. Rasa sedih ada, tapi tidak sampai berlarut-larut. Apalagi ia harus bergerak cepat memotret dan mengirim foto. Adek juga sibuk mengatasi masalah teknis, seperti foto tidak bisa terkirim.

"Sedih mendalam itu setelah kerjaan selesai. Waktu di sana, AFP sewa kos atau kontrakan. Kita bisa makan dan tidur di tempat tidur yang enak. (Melihat korban yang selamat) jangankan dapat tempat tidur. Mereka mungkin tidur di tenda atau mencari anggota keluarganya yang belum ditemukan," cerita Adek dengan ekspresi sedih saat ditemui di SCTV Tower, Senayan City, Jakarta, ditulis Kamis (14/12/2017).

Sepanjang 20 tahun menjadi jurnalis foto, Adek mengakui, ia paling banyak melihat mayat saat bencana Tsunami Aceh 2004. Kesan sedih tak hanya pertemuannya dengan ketiga kakak beradik saudara kandung. Tiap kali ia memotret dan wawacara, Adek banyak yang bertemu dengan korban selamat yang juga kehilangan keluarga.

 

3 dari 5 halaman

Antara memotret dan menolong korban

Pengalaman Adek tak hanya saat bencana Tsunami Aceh 2004 saja. Ia juga pernah ditugaskan meliput ke daerah konflik di Afghnaistan pada tahun 2011. Sebagai jurnalis foto profesional, Adek kerap berhadapan dengan kondisi di lapangan, apakah memotret atau menolong korban dulu.

"Kalau itu tergantug situasi. Saya pernah mengalami kondisi itu dua kali. Pertama, saat ada kecelakaan di jembatan Kebayoran Baru. Itu saya tidak memotret, saya menolong orang yang kecelakaannya. Lagi pula, saya enggak motret. Enggak perlu juga karena foto (kecelakaan) itu terlalu lokal. AFP tidak pakai foto itu," ujar Adek, ibu dari dua anak, yang tinggal di Kreo, Jakarta Barat.

Kedua, waktu Adek mengunjung rumah bosnya. Ia mendengar ledakan  bom di Manggarai. Peristiwa ini terjadi pada 2001. Ternyata ada mahasiswa di Asrama Yayasan Kesejahteraan Mahasiswa Iskandar Muda yang tidak sengaja meledakkan bom. Mereka sedang merakit bom.

"Karena ada suara ledakan, saya langsung cari lokasinya, apakah bom atau bukan. Akhirnya, saya keluar menuju lokasi pakai ojek. Ya, enggak jauh ternyata dari rumah bos. Kontrakan atau rumah itu ambruk. Ada satu korban yang digotong keluar sama pamong praja. Saya berputar, mencari sudut foto lain. Di kebun samping, ada salah satu korban, yang merakit bom," lanjut Adek.

Korban tersebut mengalami kondisi parah. Bagian tubuh dari pinggang ke bawah dalam keadaan hancur. Adek sempat memotret korban tersebut. Pada waktu ia memotret, korban masih hidup. Saat melihat korban, tidak ada yang bisa dilakukan. Sebenarnya, jurnalis tidak boleh berada di sana karena itu lokasi TKP.

"Saya kan lebih dulu datang dari polisi, mau menolong tapi enggak bisa. Setelah motret sebentar, saya telepon polisi dan ambulans. Itu bentuk pertolongan pertama yang bisa saya berikan. Kita mau nolong juga enggak bisa, dari pinggang ke bawahnya hancur. Berbahaya juga. Secara etika jurnalistik juga enggak boleh masuk ke TKP," Adek menambahkan.

Dua kondisi yang di alami Adek, seperti itu bersifat situasional. Kemanusiaan memang didahulukan. Di sisi lain, jurnalis itu tidak boleh memihak. Kita menolong tapi harus tahu cara menolongnya.

4 dari 5 halaman

Jaga kesehatan, profesi, dan keluarga

Ketika bertugas, baik liputan konflik dan bencana, Adek punya trik menjaga  kesehatan di lapangan. Ia melatih diri dengan disiplin makan dan istirahat.

"Kalau saya prinsipnya, ikutin badan aja. Kalau udah capek ya istirahat. Tubuh kita juga ada batasnya kan," ucap Adek sambil tersenyum.

Selain jaga kesehatan, Adek juga pandai menyeimbangkan waktu antara profesi dan keluarga. Kuncinya adalah komunikasi dengan keluarga. Menurut Adek, profesinya yang harus bertugas tidak ringan bagi sang suami, Yudiana Sabiruddin. Adek tidak hanya pergi ke daerah berbahaya. Tapi juga harus meninggalkan keluarga.

"Sebelum bertugas, saya mengkondisikan rumah seperti apa. Misalnya, kalau anak mau ujian, ya saya kondisikan rumah untuk persiapan ujian. Dua minggu sebelumnya, saya menemani anak belajar. Saya enggak bilang, berapa hari ditugaskan. Cuma bilang, pulang tanggal sekian. Anak-anak  paling SMS, 'Bunda tanggal sekian kan pulangnya," Adek melanjutkan.

 

5 dari 5 halaman

Tergantung helikopter

Namun, situasi di lapangan tidak harus tepat waktu jadwal pulang. Seperti saat Adek berada di Afganistan selatan, pergi ke mana-mana tergantung dengan helikopter. Helikopter belum tentu ada. Atau saat Adek di Pakistan meliput banjir tahun 2010, ia harus memperpanjang penugasan.

"Waktu itu, saya ditarik (pulang) di Pakistan jelang Hari Raya Lebaran setelah liputan bencana banjir. Sayang juga kan melewatkan momen ini. Kita bisa melihat betapa kontras perayaan Lebaran setelah bencana banjir besar, terlebih lagi di negara Muslim. Saya memperpanjang liputan di sana," ucapnya.

Di sisi lain, komunikasi dengan keluarga hanya secukupnya saja, so far so good. Ini karena bisa mengganggu emosi. Waktu berlayar dari Bira ke Flores, Adek liputan di kapal Prancis, ia dikabarkan anaknya panas. Kabar tersebut sangat menguras energi dan emosi. Ada rasa tidak nyaman dan tidak fokus saat bekerja.