Sukses

Angka Bunuh Diri Tinggi, Warga Korea Selatan Tabu Terapi Depresi?

Penduduk Korea Selatan masih menganggap tabu terapi untuk atasi depresi, padahal angka bunuh diri di negaranya sangat tinggi.

Liputan6.com, Jakarta "Bunuh diri terjadi di mana-mana," demikian tulis Young-Ha Kim, seorang penulis dari Korea Selatan untuk artikelnya di New York Times.

Memang, angka bunuh diri di Negeri Gingseng ini paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya, seperti Jepang, Jerman, Inggris, dan Amerika.

Bunuh diri adalah penyebab kematian pertama di Korea Selatan untuk usia remaja dan lansia. Young-Ha Kim mengatakan, jika dia mendengar kabar seseorang yang masih muda meninggal dunia, dia pasti langsung berpikir, penyebabnya adalah bunuh diri.

Lantas, apa penyebab angka bunuh diri di Korea Selatan sangat tinggi?

Mengutip New York Times, Senin (22/1/2018), riset yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Keluarga di Hallym University, sekitar 60 persen orang yang berusaha melakukan percobaan bunuh diri menderita depresi.

Temuan ini diamini oleh Kemeterian Kesehatan dan Kesejateraan Korea Selatan yang memperkirakan, 90 orang yang melakukan bunuh diri pada tahun 2016 didiagnosis memiliki gangguan mental. Termasuk seperti depresi dan kecemasan, mengutip Barkeley Political Review.

Walau begitu, masih banyak orang di Korea Selatan yang memiliki pandangan usang tentang depresi dan gangguan mental lainnya. Penduduk Korea Selatan banyak yang tidak memiliki simpati pada mereka yang bunuh diri. Ini karena masih ada anggapan pelaku bunuh diri itu lemah dan tidak memiliki keinginan hidup yang kuat.

Hal ini juga yang membuat masih banyak orang sungkan menjalani terapi untuk mengatasi depresi mereka. Bahkan, kebanyakan penduduk Korea Selatan yang memiliki gangguan mental tidak pernah mencari bantuan profesional.

Bagi penduduk Korea Selatan, hal itu dianggap memalukan. Seolah-olah seseorang mencari bantuan untuk gangguan mentalnya ini terlalu lemah untuk menghadapi tekanan kehidupan, yang juga dialami oleh semua orang lainnya di Korea Selatan.

 

 

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:

2 dari 3 halaman

Sungkan lakukan terapi untuk depresi

Data dari Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan tadi juga menemukan bahwa dari 90 persen orang yang mengalami gangguan mental dan melakukan bunuh diri, hanya 15 persen saja yang pernah menerima perawatan dalam bentuk apa pun.

Belum lagi, dengan angka perceraian di Korea Selatan yang terus meningkat, banyak orang yang khawatir, catatan tentang kondisi mental mereka bisa membuat mereka kehilangan hak asuh. Kekhawatiran ini terutama muncul di kalangan perempuan.

Kim Eo-su, seorang profesor psikiatri di Yonsei Severance Hospital mengatakan pada penulis Young-Ha Kim, "Satu dari tiga pasien depresi berhenti di tengah-tengah perawatan. Salah satu masalah terbesar adalah, banyak pasien yang merasa, mereka bisa mengatasi depresinya sendiri. Melalui rute relijius atau berolahraga."

Pengobatan sendiri (self medication) banyak dilakukan oleh penduduk Korea Selatan dengan berbagai cara. Mulai dari cara yang cukup sehat seperti berolahraga, sampai mendatangi perkumpulan keagamaan, menggunakan media sosial, sampai cara yang buruk seperti penyalahgunaan alkohol.

3 dari 3 halaman

Lari ke alkohol

Mengutip Barkeley Political Review, data dari Euromonitor International menunjukkan penduduk Korea Selatan adalah peminum minuman keras (hard liquor) terbesar. Rata-rata orang dewasa di Korea Selatan minum 14 gelas minuman keras dalam satu minggu.

Angka ini mengejutkan karena perbandingannya saja sudah sangat jauh dengan Amerika Serikat, yang rata-rata penduduknya mengonsumsi hanya tiga gelas minuman keras dalam satu minggu.

Minum minuman keras dalam jumlah besar adalah sesuatu yang umum di Korea Selatan. Hal ini dihubungkan dengan jam kerja dan tekanan pekerjaan mereka yang besar. Akibatnya, hal ini menyebabkan ribuan kematian setiap tahunnya.

Sekitar 40 persen orang yang melakukan percobaan bunuh diri terjadi ketika mereka berada di bawah pengaruh alkohol. Sayangnya, penyalahgunaan alkohol secara sosial lebih diterima di Korea Selatan dibanding mencari bantuan profesional untuk mengatasi gangguan dan kondisi mental mereka.

Â