Liputan6.com, Jakarta Sejak awal masa kehidupan anak, orangtua disarankan melakukan skrining pendengaran pada bayi.
Hal ini diungkapkan oleh dr. Ronny Suwento, Sp. THT-KL (K), divisi komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) terutama pada bayi yang memiliki faktor risiko tuli.
Baca Juga
"Lahir prematur, berat badan kurang, banyak sekali di Indonesia," kata Ronny dalam konferensi pers World Hearing Day di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Senin (26/2).
Advertisement
Menurutnya, dengan dilakukan skrining sejak usia dini, diharapkan anak akan mampu berbicara normal pada usia 3 tahun.
Walaupun begitu, proses skrining sendiri diakui mengalami kendala. Ini karena skrining pendengaran pada bayi yang dilakukan beberapa kali di RSCM mengalami kegagalan akibat peserta yang tidak melakukan pemeriksaan lanjutan.
"Repot harus bawa anak, naik mikrolet, nunggu bapaknya. Masyarakat memiliki segudang alasan," tambah Ronny. Menurutnya, itu tidak bisa disalahkan.Â
Â
Saksikan juga video berikut ini:
Â
Belum ada regulasi skrining pendengaran bayi
Selain berbagai alasan itu, juga belum ada regulasi di Indonesia yang mengatur agar bayi melakukan skrining di rumah sakit.
"Seperti di Manila sudah ada. Tapi itu pun karena ada kejadian anak anggota parlemen yang tuli, baru buat regulasi," tambah Ronny.
Menurut Ronny, masyarakat saat ini hanya tertarik melakukan pencegahan pada penyakit-penyakit seperti infeksi.
Walaupun skrining pendengaran tidak bisa menentukan dengan pasti ada tidaknya gangguan pendengaran, hal ini bisa jadi salah satu cara mencegah tuli pada anak. Pasalnya, skrining pada bayi dilakukan untuk menemukan adanya gangguan pendengaran pada bayi baru lahir.
Ketulian sejak masa bayi dapat mengganggu saat dewasa. Terutama dalam kemampuan membaca dan keseimbangan.
Advertisement