Liputan6.com, Jakarta The Shape of Water, film penyandang 13 nominasi Piala Oscar 2018 ini ternyata tidak lepas dari masalah. Terutama dengan mereka yang memiliki masalah disabilitas.
Dilansir dari Huffington Post, Senin (5/3/2018), Elsa Sjunneson-Henry, penulis dan editor fiksi, awalnya tidak sabar untuk menonton Shape of Water, film fiksi ilmiah dengan protagonis penyandang disabilitas.
Baca Juga
Protagonisnya, Elisa yang dibintangi Sally Hawkins, perempuan bisu yang bekerja sebagai pembersih di sebuah laboratorium rahasia pemerintah. Kehidupannya berubah saat dia menemukan makhluk air seperti manusia, yang diperankan oleh Doug Jones.
Advertisement
Awalnya, Elsa mengira bahwa film tersebut bercerita tentang penyelamatan makhluk tersebut. Namun, yang dia dapatkan malah kisah cinta tentang karakter disabilitas dengan makhluk tersebut. Sebuah adegan menceritakan bahwa makhluk yang disebut Amphibian Man itu tidak melihat kekurangan dari si protagonis, tetapi melihat dia apa adanya.
Adegan itu romantis dan memberikan pelajaran untuk tidak melihat dari fisik saja, tapi menurut Sjunneson-Henry, adegan ini membuat penyandang cacat dianggap tidak manusiawi.
Selain itu, adegan terakhir di mana sang monster mengubah Elisa yang sekarat untuk menjadi seperti dirinya, menimbulkan kontroversi.
Kim Sauder, penyandang gelar Ph.D. dari studi kecacatan kritis yang juga mengalami disabilitas mengatakan, The Shape of Water adalah fantasi romantis yang beracun.
Menurut Sauder, cerita tersebut berpesan untuk mereka yang mengalami disabilitas, menemukan pasangan itu langka. Mereka juga harus berpegang pada siapa pun yang memilih mereka, sekalipun dia monster.
Â
Simak juga video menarik berikut ini:Â
Sebuah Masalah untuk Piala Oscar 2018
Pembuat film dan aktivis Dominick Evans, mengatakan, bahwa pesan Elisa perlu "diperbaiki" atau "disembuhkan" untuk menemukan cinta sejati adalah sebuah masalah.
Menurut Evans yang memiliki atrofi otot tulang belakang, sebuah cacat neuromuskular progresif ini, pesan tersebut membuat orang dengan disabilitas menjadi manusia kelas dua.
"Saya kenal orang-orang cacat lain yang mencoba bunuh diri karena menginternalisasi pesan-pesan ini. Mereka tidak pergi ke sekolah, tidak punya hubungan, hanya duduk-duduk menunggu untuk disembuhkan atau mati," kata Evans.
Beberapa orang dengan badan sehat berpendapat itu hanyalah film. Namun, bagi Evans dan Sjunneson-Henry menegaskan, narasi semacam ini punya konsekuensi di kehidupan nyata.
"Dikatakan bahwa tanpa disembuhkan, kita tidak akan dicintai atau bermanfaat bagi manusia lain," ujar Evans, "dan masyarakat menyerap itu."
Sjunneson-Henry mengatakan bahwa beberapa orang telah menanggapi perasaannya tentang film tersebut dengan kemarahan.
Advertisement