Liputan6.com, Jakarta Beberapa waktu lalu, Indonesia ramai dengan pemberitaan mengenai kasus gizi buruk dan campak di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Berdasarkan laporan dari Kementerian Kesehatan RI, 71 orang meninggal dalam Kasus Luar Biasa (KLB) gizi buruk dan campak sejak bulan November 2017. Di saat yang bersamaan, masih terdapat 646 anak yang terkena wabah campak dan 144 anak yang menderita gizi buruk yang masih membutuhkan pertolongan. Permasalahan gizi yang terjadi di wilayah paling timur Indonesia ini menyita perhatian seluruh pihak, dari pemerintah hingga aktivis, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil.
Aksi Cepat Tanggap (ACT) berkolaborasi bersama Center for Indonesia’s Strategic Development Intiatives (CISDI) dalam memberi respon bagi masyarakat Asmat di Papua. Aksi Cepat Tanggap menempatkan tenaga kesehatan profesional sebagai upaya penatalaksanaan kegawatdaruratan kesehatan yang berlangsung di Asmat. Para tenaga kesehatan profesional akan memperkuat pendidikan pada masyarakat serta memberikan pengobatan. Sebelum diberangkatkan, para tenaga kesehatan profesional menjalani kegiatan pembekalan yang diberikan oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
Baca Juga
Dengan pengalaman mengirimkan tenaga medis ke daerah bermasalah kesehatan melalui Pencerah Nusantara, CISDI melatih tenaga kesehatan ACT dengan materi yang dapat menunjang pemahaman mereka terhadap masyarakat di wilayah yang baru didatangi. Pembekalan ini fokus dalam pembahasan tindakan sosial yang perlu dilakukan untuk dapat membantu korban kejadian luar biasa (KLB) di Asmat, Papua secara berkelanjutan, salah satunya melalui pendekatan etnografi.
Advertisement
Nurmalasari, Research and Development Officer CISDI yang menjadi pemateri dalam pelatihan pembekalan tenaga medis ACT untuk Asmat menyampaikan, “Suatu upaya penyelesaian masalah kesehatan melalui pemberdayaan masyarakat harus mempertimbangkan modal sosial dan budaya lokal yang ada. Budaya lokal yang “menguntungkan” harus dioptimalkan, sedangkan yang terlihat “merugikan” bagi kesehatan bukan berarti harus dihilangkan. Budaya lokal tersebut harus “dimodifikasi”. Hal ini diharapkan dapat membantu penyelesaian masalah kesehatan, tanpa menghilangkan core value dari budaya tersebut.”
Dari pengalamannya sebagai Pencerah Nusantara di Mentawai, Nurmalasari juga memaparkan pentingnya pelibatan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam mengenai kondisi mereka. Selain itu, cara ini diharapkan dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat untuk menciptakan solusi bagi permasalahan kesehatan yang mereka hadapi.
Selain materi pelatihan mengenai Pendekatan Etnografi dalam Intervensi Kesehatan, CISDI juga memberikan materi Teknik Pengambilan Data Kualitatif, Metode Initial Assessment (kualitatif, kuantitatif, diagnosa komunitas, dan perumusan program), serta Intervensi Pangan Berbasis Bahan Lokal. Egi Abdul Wahid, Koordinator Manajemen Program CISDI mengungkapkan, “Yang dibutuhkan oleh tim yang akan terjun ke Asmat adalah kapasitas melakukan penilaian awal agar program yang disusun di lapangan sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.”
Egi yang merupakan lulusan Mahidol University, Thailand dan berpengalaman dalam analisis sistem kesehatan pelayanan dasar, juga menekankan pentingnya pendampingan penyusunan program kepada perangkat desa dalam mengelola dana otonomi khusus dan dana desa kabupaten Asmat. Pendampingan tersebut bertujuan dalam memantau pengalokasian dana yang telah diterima dari pemerintah pusat.
Selain bekal materi yang diberikan oleh tim CISDI, tim Aksi Cepat Tanggap juga mengirimkan 100 ton beras ke Asmat untuk mendukung ketersediaan bahan pokok selama masa rehabilitasi. Harapannya, segala upaya yang telah dilakukan oleh organisasi, masyarakat, ataupun pemerintah dapat membantu warga Asmat dalam menghadapi masalah kesehatan yang dimiliki mereka.
Penulis: Arina Aisyal / Editor: Yeyen Yenuarizki