Sukses

Orangtua Beda Agama, Anak Harus Bagaimana?

Pernikahan beda agama bukan lagi hal yang aneh di Indonesia. Sayangnya, beberapa orangtua masih bingung ketika anak harus memilih keyakinan yang akan dia anut.

Liputan6.com, Jakarta Tak bisa dimungkiri, pernikahan beda agama sudah sering terjadi di Indonesia. Namun, beberapa keluarga kesulitan ketika anak kesayangan mereka harus menentukan keyakinannya.

Nirmala Ika, psikolog dari Yayasan Pulih mengatakan, dibutuhkan sikap dewasa, bijak, dan ketenangan orangtua agar anak tidak galau meyakinkan status agamanya. Di sisi lain, pasangan harus sudah tahu akan hal ini ketika memutuskan untuk menikah.

"Ketika memutuskan untuk menikah beda agama, idealnya tidak hanya memikirkan bahwa mereka saling mencintai. Namun juga memikirkan bagaimana perkembangan anak mereka," kata Nirmala ketika dihubungi Health-Liputan6.com, ditulis Rabu (28/3/2018).

Menurut psikolog lulusan Universitas Indonesia ini, dampak pada anak akan terjadi jika orangtua memaksakan salah satu keyakinan, atau ketika tidak mampu menghargai perbedaan di antara mereka.

"Contohnya, ketika di keluarga besar ikut-ikutan menjelekkan keyakinan pihak lain atau mengaitkan kekurangan yang dimiliki salah satu pihak dengan agamanya," kata perempuan yang juga mempelajari isu gender dan kekerasan pada perempuan tersebut.

Untuk itulah, Nirmala menyarankan agar anak diperkenalkan dengan dua keyakinan yang dianut oleh orangtuanya.

"Bukan (memberikan) pemahaman agama mana yang lebih baik," tambah Nirmala.

Dengan itu, mereka akan memiliki orientasi pada keberagaman dan mampu memilihi mana keyakinan yang harus dia ikuti.

 

Simak juga video menarik berikut ini: 

2 dari 2 halaman

Memaksakan Sebuah Keyakinan Akan Menekan Anak

Paksaan untuk ikut keyakinan salah satu orangtua, diakui Nirmala bisa membuat anak tertekan.

Nirmala mengatakan, beberapa orangtua terkadang membagi keyakinan anak mereka untuk ikut dengan salah satunya.

"Orangtua kadang membagi anak perempuan ikut agama ibu, anak laki-laki ikut agama ayah, atau sebaliknya. Juga pengaturan-pengaturan lain yang dirasa orangtua terbaik bagi si anak," kata Nirmala.

"Tapi mereka lupa mengikutkan pendapat, perasaan, dan keinginan anak ketika memutuskan hal itu. Sehingga tetap saja berpotensi membuat anak tertekan," tutur Nirmala.