Sukses

Hambar Sedapnya Luapkan Marah di Media Sosial

Berbeda dengan dunia nyata, dunia maya seperti media sosial (medsos)membuat orang berani mengeluarkan omongan keras, kasar

Liputan6.com, Jakarta Berbeda dengan dunia nyata, dunia maya seperti media sosial (medsos)membuat orang berani mengeluarkan omongan keras, kasar, dan menyakitkan orang lain. Kenapa begitu?

Ketika berada dalam dunia maya, ekspresi kekesalan dirasakan justru bisa mendapatkan dukungan (likes, favorite, retweets) serta komentar baik dari dalam ataupun luar lingkaran jejaring sosial. Dukungan dan komentar itu pun semakin mendorong impulsivitas seseorang untuk meluapkan kekesalan serta kebencian melalui media sosial.

Beberapa alasan lainnya ialah sebagian orang merasa bebas mengekspresikan amarah tanpa harus menyebut siapa penyebabnya dan dapat menjangkau orang lebih luas. Seolah-olah orang lain mengetahui dan memahami amarah yang sedang dirasakan. Terlebih lagi apabila orang yang dituju berada di jejaring sosial yang sama, seakan telah memarahi orang tersebut secara langsung.

Selain itu, dengan terlibat war atau adu komentar di media sosial, seseorang dapat bertemu dengan orang-orang yang sejalan dengan pikirannya. Ia pun akan mendapat dukungan dari mereka karena dianggap telah berani mengemukakan pendapatnya.

Sebuah penelitian menyatakan, ada beberapa manfaat yang dirasakan setelah meluapkan amarah di media sosial. Pertama, merasa lebih tenang dan lega. Perasaan tenang dan lega ini dialami karena merasa amarah ataupun kekesalan yang ada dalam diri telah terlepaskan.

Kedua, merasa dihargai dengan memperoleh komentar dari orang lain. Komentar yang diperoleh ini sebagai bentuk penguatan atas apa yang dirasakan, yang biasanya juga diikuti dengan nasihat atau lelucon dari orang lain. Dengan demikian, seseorang merasa tidak sendirian dalam menghadapi amarah yang ada dalam diri.

Ketiga, menemukan tempat yang terlihat tepat untuk menuliskan apapun yang diinginkan saat merasa kesal, marah, atau tersakiti. Menemukan tempat untuk menyalurkan impulsivitas seseorang dalam mengekspresikan emosinya.

 

2 dari 3 halaman

Sensasi

Ada sensasi tersendiri bagi pembaca, yang memilih untuk tidak terlibat atau memberikan respons apa-apa. Ketika melihat ucapan kasar di media sosial, ia malah melihatnya sebagai hiburan. Rasa ingin tahu terhadap isu yang sedang terjadi juga mendorong dirinya untuk memantau tweet war atau adu komentar di media sosial. Selain itu, memicu rasa kebersamaan dengan menemukan orang berpandangan sama tanpa harus turut terlibat dalam perdebatan yang ada.

Sebagai tambahan, melihat ekspresi amarah orang lain di dunia maya dapat membuat diri merasa lebih baik.  Merasa lebih baik karena melihat diri mampu mengontrol amarah dengan tidak mudah mencerca seperti mereka yang sudah mencerca di media sosial.

 

 

3 dari 3 halaman

Ada konsekuensi

Perlu diingat bahwa tidak selamanya berkata kasar membawa pengaruh baik. Ada banyak konsekuensi yang harus dipersiapkan ketika ingin berkata kasar, baik sebagai bentuk mengekspresikan emosi maupun terlibat dalam adu komentar atau tweet war. Konsekuensi tersebut seperti, memicu pertengkaran secara verbal atau fisik, merusak hubungan dengan orang yang bersangkutan di dunia virtual maupun nyata, dan melukai diri sendiri.

Selain itu, tidak selamanya orang yang telah meluapkan amarah merasa lebih tenang dan lega. Seseorang malah bisa menjadi semakin frustrasi dan membenci diri sendiri. Perasaan ini muncul karena dirinya merasa malu dan bersalah atas luapan amarahnya. Seolah-olah sudah melewati batas kontrol diri terhadap emosi yang sedang dirasakan.

Mengontrol amarah memang bukan hal yang mudah. Apalagi, kehadiran media sosial memancing seseorang untuk meluapkan amarahnya begitu saja di sana. Melihat bahwa meluapkan amarah jauh lebih penting supaya diri merasa lebih baik. Padahal, ada kemungkinan untuk menyesal dan timbul dampak buruk lainnya setelah meluapkan amarah di media sosial. Baik dunia maya maupun nyata, diperlukan sikap dan keputusan yang bijak untuk meluapkan amarah dalam diri kita.

Zahrah Nabila, Pijar Psikologi dan Mahasiswa Psikologi di sebuah universitas