Liputan6.com, Jakarta Metode cuci otak melalui prosedur Digital Subtraction Angiography (DSA) yang dilakukan oleh dokter Terawan Agus Putranto, Sp.Rad diduga melanggar kode etik kedokteran. Padahal, terapi ini kabarnya dapat digunakan untuk mengatasi penyakit stroke.
Mengutip dari laman resmi RS Gading Pluit, Selasa (3/4/2018), prosedur DSA dilakukan dengan memasukkan kateter khusus ke dalam pembuluh darah yang mengaliri organ sasaran. DSA otak yang awalnya dilakukan dengan tujuan diagnostik, berkembang menjadi terapi, yang dikenal dengan istilah brain spa atau cuci otak.
Baca Juga
Terkait hal tersebut, Ahli Neurologi dari RS Gading Pluit, dr. Andreas Harry, Sp.S(K) mengungkapkan DSA merupakan prosedur yang bisa digunakan untuk tujuan diagnostik dan terapi.
Advertisement
"DSA itu bisa untuk diagnostik seperti pembuluh darah melembung, dan terapi pada kemoterapi," ujar Andreas, saat diwawancarai Health Liputan6.com, ditulis Rabu (4/4/2018).
Menanggapi soal kasus cuci otak yang menimpa dokter Terawan, Andreas mengatakan antikoagulan bernama heparin yang disemprotkan menggunakan alat DSA hanya dapat digunakan untuk mencegah terjadinya stroke dan serangan jantung.
"Jadi bukan mengobati. Dan juga cuci otak menggunakan DSA dengan semprotan heparin itu enggak bisa digunakan untuk semua penyakit," kata Andreas menegaskan.
Â
Saksikan juga video berikut ini :
Salah kaprah 'cuci otak'
Terkait dengan metode 'cuci otak', Andreas mengakui banyak orang yang salah kaprah. Menurutnya, heparin, yang selama ini dianggap sebagai penghancur gumpalan darah, ternyata hanya memiliki fungsi pencegahan.
"Jadi apanya yang mau dicuci? Kalau penghancur gumpalan itu namanya trombolitik, jadi jangan salah kaprah," ujar Andreas.
Penyemprotan heparin dengan menggunakan metode DSA ternyata memiliki efek samping mengerikan, walau jarang terjadi, yaitu perdarahan di otak. Oleh sebab itu, Andreas mengimbau untuk berhati-hati dalam penggunaan obat tersebut dan pastikan berkonsultasi secara matang dengan dokter terlebih dahulu.
Advertisement