Sukses

Awas, Makanan Cepat Saji Bikin Risiko Diabetes dan Sakit Jantung Meningkat

Menurut penelitian, makanan cepat saji mengandung banyak lemak dan gula serta minim kandungan serat.

Liputan6.com, Jakarta Menurut penelitian dari University of Bonn di Jerman, mengonsumsi makanan cepat saji bisa menstimulus tubuh terinfeksi bakteri. 

Para ilmuwan dalam jurnal Cell menemukan, makanan cepat saji menginduksi peradangan sistemik pada tikus dan ini bertahan bahkan setelah tikus kembali menjalani diet normal mereka. 

Makanan jenis ini mengandung banyak lemak dan gula serta minim kandungan serat. Ketika seekor tikus memakannya, respons peradangan sistem kekebalannya sama dengan apa yang akan dilakukannya jika ada infeksi bakteri.

"Diet yang tidak sehat menyebabkan peningkatan tak terduga dalam jumlah sel kekebalan tertentu dalam darah tikus," ujar peneliti Anette Christ dari University of Bonn, dilansir dari Medical Daily.

Meskipun peradangan hilang setelah diet tidak sehat digantikan dengan yang lebih baik, perubahan genetik terkait dengan respon imun agresif yang dibawa diet sebelumnya tetap ada. 

Tubuh menggunakan semacam "memori" dari pengalaman masa lalunya untuk melindungi dirinya sendiri di masa depan, meskipun pengalaman masa lalu itu sering seperti infeksi. 

Ketika patogen berbahaya muncul, tubuh akan membuka memori sistem kekebalan sehingga pertahanan tubuh dapat menghasilkan respons yang lebih cepat dan lebih efektif.

“Makanan cepat saji menyebabkan tubuh dengan cepat merekrut tentara yang besar dan kuat,” jelas Chirst, dikutip dari AntaraNews, Rabu (11/4/2018).

 

Simak juga video menarik berikut:

2 dari 2 halaman

Risiko makanan cepat saji picu diabetes dan jantung

Menurut para ilmuwan, memiliki sistem kekebalan yang dirangsang lebih kuat dapat memiliki konsekuensi kesehatan seperti diabetes dan masalah jantung.

“Dasar dari pola makan sehat perlu menjadi bagian pendidikan yang jauh lebih menonjol daripada saat ini. Hanya dengan cara ini, kita dapat melindungi anak kita dari godaan industri makanan," kata peneliti Eicke Latz.

(Lia Wanadriani Santosa/AntaraNews)