Liputan6.com, Jakarta Tingkat kepercayaan diri anak Indonesia tergolong rendah. Berdasarkan hasil kajian yang pernah didapat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Republik Indonesia, 56 persen anak-anak Indonesia--yang didominasi anak perempuan--mengalami krisis kepercayaan diri.
Baca Juga
Advertisement
Hal ini disampaikan Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pendidikan, Kreativitas, dan Budaya KPPPA, Elvi Hendrani, kepada Health Liputan6.com di SMA Negeri 74 Jakarta Selatan, Senin, 16 April 2018.
Elvi mengatakan ada banyak hal yang membuat mereka jadi tidak percaya diri. "Budaya di Indonesia yang masih melihat anak perempuan sebagai sosok yang tidak boleh banyak melakukan aktivitas di luar rumah."
Belum lagi, sistem pendidikan di Indonesia yang masih banyak menggunakan cara kekerasan dalam mendislipinkan murid-muridnya. Hal yang paling mengkhawatirkan dan harus segera diputus mata rantainya ada di daerah Timur Indonesia.
"Di sana masih menerapkan sistem kekerasan, sehingga kekerasan menjadi suatu hal yang harus diputus mata rantainya, karena sangat menurunkan tingkat diri anak-anak."
Â
Simak video menarik berikut ini:
Â
Anak Indonesia Harus Percaya Diri
Saat menjadi pembicara pada sebuah diskusi di sekolah tersebut, Elvi menitipkan pesan kepada pihak sekolah, agar SMA Negeri 74 Jakarta menjadi sekolah ramah anak. Tidak pernah pakai kekerasan, apalagi dengan dalih agar murid menjadi lebih disiplin.
"Murid-murid ini harus menjadi generasi emas Indonesia. Bahkan 20 sampai 30 tahun mendatang, mereka akan menggantikan pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia. Kepercayaan diri anak-anak ini harus ditingkatkan. Mereka harus bisa percaya diri di tingkat internasional," ujarnya.
Â
Advertisement
Percaya Diri Adalah Modal Utama Seorang Anak
Menurut Elvi, kepercayaan diri merupakan modal utama seorang anak untuk meraih kesuksesan.
Sekolah sejatinya menjadi pintu gerbang bagi mereka meningkatkan kepercayaan diri. Maka itu, putus segera mata rantai kekerasan dengan meniadakan hukuman di sekolah, lebih disiplin dan positif, dan dibina.
"Anak salah jangan dihukum, tapi dibenarkan."
Misalkan ada murid yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR), seharusnya tidak dihukum di depan kelas atau hormat ke tiang bendera, tapi minta dia untuk mengerjakan PR tersebut.
"Begitu juga ketika anak buang sampah sembarangan. Suruh dia pungut sampah yang dibuangnya itu, untuk kemudian dibuang ke tempat yang semestinya," tandas Elvi.Â