Sukses

Relationship Goals, Apa Benar Mereka Pasangan Sempurna?

Saat ada pasangan yang terlihat mesra di media sosial, mereka sering dicap relationship goals, alias target hubungan. Tapi apa benar hubungan mereka sempurna? Pakar dari Pijar Psikologi membahasnya.

Liputan6.com, Jakarta Kalimat seperti “Wah, kalian relationship goals banget deh” mudah kita temui di kolomkomentar seseorang yang mengunggah foto bersama pasangannya. Komentar tersebutmenunjukkan anggapan sebagian orang bahwa relationship goals dapat diukur dari kemesraanyang diunggah seseorang ke media sosial.

Namun kenyataannya, pasangan yang mengunggahkebersamaannya di media sosial secara berlebihan tidak selamanya memiliki hubungan yang sempurna. Ternyata, ada beberapa ketidaksempurnaan yang tertutupi oleh kesempurnaan foto yang diunggah.

Memahami Relationship Goals

Menurut penelitian yang dilalakukan mengenai relationship goals pada tahun 2017, foto yang dianggap sebagai relationship goals adalah foto pasangan yang menggambarkan hubungan yang dianggap ideal. 

Foto tersebut akan menimbulkan harapan pada diri orang yang melihat agar suatu saat dapat memiliki hubungan yang sama idealnya. Misalnya, foto-foto saat merekamemakai baju yang serasi atau berpelukan.

Tidak hanya itu, foto dengan keterangan yangmenggambarkan keunggulan pasangan dan pencapaian yang telah diraih juga seringkalidianggap sebagai relationship goals. Singkatnya, foto-foto yang dianggap relationship goals biasanya selalu “sempurna”.

Apakah Hubungan Mereka Memang Sempurna?

Aktivitas mengunggah foto profil berdua memang dapat menunjukkan kualitas hubungan pernikahan yang tinggi. Kecenderungan pasangan menikah untuk mengunggah konten romantisakan meningkat ketika mereka sedang merasa puas dengan hubungannya.

Begitu pula ketika seseorang sedang merasa lebih dekat dengan suami atau istrinya, maka mereka akan lebih sering mengunggah foto bersama pasangannya. 

Tidak hanya pasangan menikah, individu juga merasakan kepuasan hubungan pacaran yang lebihtinggi jika pasangannya memperlihatkan hubungan mereka. Baik unggahan berupa statusromantis maupun pemasangan foto berdua sama-sama memberikan kepuasan hubungan yang lebih tinggi.

Pengakuan status hubungan di media sosial juga dapat memperkuat komitmen dan memperkuat kemungkinan hubungan akan bertahan setelah 6 bulan. Semakin banyak individumenuliskan, ketika ia menjalin hubungan, mengunggah foto bersama, dan menuliskan sesuatu dihalaman media sosial pasangannya, maka semakin kuat komitmen mereka.

Akan tetapi, aktivitas mengunggah foto bersama pasangan tidak selamanya menunjukkan kesempurnaan hubungan mereka. Kegiatan mengunggah konten romantis secara berlebihan bisa jadi justru mengindikasikan adanya berbagai masalah.

Saksikan juga video menarik berikut ini:

 

2 dari 3 halaman

Sarana Menyombongkan Diri

Pada remaja, unggahan romantis berlebihan merupakan sarana sesumbar atau menyombongkandiri. Unggahan romantis untuk menyombongkan diri akan meningkatkan harga diri pengunggahnya.

Harga diri yang meningkat juga akan membuat remaja lebih percaya diri untuk kembali mengunggah konten romantis. Hal ini membuat terjadinya siklus antara aktivitasmengunggah konten romantis, peningkatan harga diri, peningkatan kepercayaan diri untukmengunggah, dan kembali mengunggah konten romantis.

Siklus tersebut yang kemudianmembuat remaja banyak mengunggah konten romantis secara berlebihan.

Perasaan Tidak Bisa Dicintai dan Takut Diabaikan

Masalah lainnya di balik unggahan romantis di media sosial adalah ketika seseorang memilikiperasaan tidak dapat dicintai dan takut diabaikan. Perasaan tersebut membuat individu berpikiran bahwa hubungannya memiliki kualitas yang buruk.

Pemikiran itu membuat individumenginginkan hubungan romantisnya lebih terlihat di media sosial. Untuk membuat dirinyamerasa lebih baik, individu akan lebih sering mengunggah konten romantis.

Rasa Tidak Aman terhadap Perasaan Pasangan

Ketika seseorang merasa tidak aman dengan perasaan pasangannya, ia akan lebih banyakmengunggah konten romantis. Unggahan tersebut dibuat untuk memberikan gambaran bahwahubungan yang dijalaninya baik-baik saja di hadapan teman-temannya.

Pengguna media sosial menuntut profil seseorang untuk terlihat natural tanpa polesan. Dan seringkali tuntutan tersebut justru membuat individu memalsukan apa yang diunggah demi terlihat natural.

Sama seperti hubungan romantis yang ditampilkan ke media sosial. Demi terlihat baik-baik saja, seseorangakan mengunggah konten romantis di saat ia merasa tidak aman dengan perasaan pasangannya.

3 dari 3 halaman

Kejenuhan dalam Hubungan

Unggahan romantis juga dapat mengindikasikan kejenuhan yang dialami oleh seseorang saatmenjalani hubungan. Ketika seseorang mengunggah konten romantis ke media sosial, iamenyadari unggahannya akan dilihat semua orang, termasuk pasangannya.

Kesadaran bahwa adaorang lain yang melihat keromantisan yang diunggah tersebut dapat dianggap sebagai caramencari perhatian pasangan. Unggahan yang dilihat semua orang akan dianggap lebih romantis dibandingkan ungkapan yang diungkapkan berdua.

Perasaan yang muncul setelah melihatunggahan inilah yang dianggap dapat melindungi hubungan dari kejenuhan.Unggahan romantis di media sosial secara berlebihan juga dapat membuat orang lain yang menyaksikan merasa tidak nyaman.

Tidak sedikit orang yang merasa tidak peduli tentanghubungan romantis orang lain dan malah merasa terganggu dengan unggahan tersebut.

Penggunaan media sosial secara berlebihan juga memiliki banyak dampak negatif untukkesehatan mental dan keberlangsungan hubungan romantis itu sendiri. Konten romantis yang kita temui di media sosial tidak secara pasti menunjukkan kesempurnaan hubungan pengunggah.

Namun, tidak selamanya pula menunjukkan bahwa hubunganpengunggah bermasalah. Selama unggahan tersebut masih di dalam batas wajar dan tidakberlebihan, maka mengunggah konten romantis bukanlah sebuah kesalahan.

Tapi kita juga perlu mengingat bahwa unggahan yang seringkali diberi label “Relationship Goals” bukanlah hubungan yang sempurna. Kita perlu kembali menjaga ekspektasi kita mengenai bagaimanahubungan romantis yang ideal agar tetap realistis.

Tulisan Ayu Yustitia dari Pijar Psikologi untuk Liputan6.com