Liputan6.com, Jakarta Tanpa kita sadari, nyinyir dan gosip sudah menjadi hal umum dalam lingkaran dunia sosial kita.
Setiap kali kita bertemu atau berkumpul bersama teman-teman, sering kali kita membicarakan orang lain sebagai topik hangat untuk merekatkan kebersamaan. Terdapat sense of in-group (merasa bagian dari kelompok) ketika kita membicarakan orang lain di luar kelompok nyinyir kita.
Baca Juga
Kita pun merasa aman, karena kita kira semua orang menjelekkan “dia” dan “mereka” di luar sana. Padahal tanpa kita tahu, setiap orang yang membicarakan orang lain di depan kita memiliki potensi besar untuk melakukan hal serupa di kelompok nyinyir yang lainnya.
Advertisement
Rasanya kita seperti tidak punya cerita. Topik-topik seperti liburan, pengalaman konyol, ide-ide, mimpi dan cita-cita seakan tidak lebih menarik dibandingkan membicarakan orang lain.
Di tengah dunia yang menuntut kita selalu tampil sempurna, mengetahui keburukan orang lain seolah menjadi obat penenang yang membantu kita untuk menarik nafas sejenak. Karena kita tahu ada “dia” yang kurang sempurna di luar sana. Dunia ini menuntut kita berkompetisi menjadi yang terbaik.
Rasanya kita sedang berkompetisi dengan semua orang: untuk memperebutkan jabatan, uang, prestasi, atau perasaan haru bangga dari orang tua. Membicarakan kelemahan orang lain adalah suntikan energi yang membuat kita merasa lebih tinggi.
Kita butuh bijak untuk mengakui bahwa setiap dari kita ingin melihat diri ini sebagai orang yang pintar, rupawan, baik, sabar, ramah dan membanggakan. Dalam ruang-ruang imajiner kita membentuk gambaran diri kita yang sempurna dihadapan semua orang.
Sayangnya kesempurnaan bukanlah trait manusia. Dan tuntutan sosial untuk menjadi sempurna sering menjatuhkan kita pada pola perilaku nyinyir dan gosip. Dengan membicarkan keburukan orang lain, kita memvalidasi gambaran-gambaran diri kita sebagai yang paling sempurna.
Saksikan juga video menarik berikut:
Nyinyir dan Gosip Terkadang Karena Kecemburuan
Orang-orang yang berprestasi dan jarang bersosialisasi kita panggil “kutu buku”, “ambi” dan “sombong”.
Orang-orang yang dapat pacar bule kita bilang punya “wajah pembantu”
Orang-orang yang buka kerudung atau pindah agama kita beri label “bermasalah”, “ngaco” dan “sesat”.
Ironisnya orang-orang yang nyinyir kadang tidak memiliki prestasi yang bisa dibanggakan (pada kasus kutu buku). Atau mereka tidak puas dengan hubungan cinta yang mereka miliki (pada kasus pacar bule). Atau mereka yang tidak religius dan ibadahnya masih bolong-bolong (untuk kasus pindah agama).
Mereka mendamba prestasi itu, mereka mendamba hubungan romantis itu, mereka mendamba kebebasan memilih jalan hidup yang sesuai kata hati mereka. Mereka iri akan keberanian orang-orang itu memilih jalan yang berbeda.
Terkadang nyinyir dan gosip juga kita lakukan karena kita tidak bisa menerima kekurangan orang lain. Orang yang sensitif, yang sedikit lambat berpikir, yang kurang bisa bersosialisasi, yang kulitnya lebih hitam, yang lebih pendek, yang lebih gemuk, atau orang yang terlalu kurus sering kali dijadikan bahan bully, nyinyir dan gosip. Nampaknya susah sekali bagi kita menerima perbedaan.
Padahal jika kita mau sedikit berbesar hati mungkin saja teman kita yang sensitif memiliki masalah kekerasan rumah tangga, teman kita yang lambat berpikir memang memiliki IQ di bawah rerata dan teman kita yang kurang bisa bersosialisasi karena dia memiliki trust issue di keluarganya.
Advertisement
Kita tak pernah tahu.
Terakhir, kadang nyinyir dan gossip kita lakukan karena kita tidak berani jujur pada diri sendiri. Kita tak tahu topik apa lagi yang bisa diperbincangkan. Kita merasa tidak bisa begitu terkoneksi dengan teman-teman di grup kita.
Kita tidak berani menceritakan isi hati kita, kelemahan kita, kekhawatiran kita. Akhirnya, topik mengenai keburukan dan kelemahan orang lain menjadi topik yang paling ‘netral’ dan bisa merekatkan hubungan pertemanan.
Semoga saja, kita tidak dijadikan bahan nyinyir oleh mereka-mereka yang sering tertawa bersama di depan kita.
P.S: Nyinyir adalah ketika kita menyampaikan fakta atau gosip dengan cara merendahkan orang yang dibicarakan dengan kata-kata seperti “masa dia itu.…. Iiiiihhh….. kalo gue sih amit-amit kayak gitu”
Tulisan Regis Machdy dari Pijar Psikologi untuk Liputan6.com