Liputan6.com, Nebraska, Amerika Serikat Kendra Jackson asal Omaha, Nebraska, Amerika Serikat menderita sakit kepala berkepanjangan dan hidung meler. Namun, kondisinya jauh lebih parah dibanding terkena alergi dan flu.
Baca Juga
Advertisement
"Ke mana pun aku pergi, aku selalu bawa sekotak tisu, yang selalu dimasukkan ke dalam saku," kata Kendra sambil menambahkan, hidungnya yang meler layaknya air terjun. "Meler terus-menerus. Bahkan melernya keluar sampai ke belakang tenggorokan."
Gejala awal dimulai setelah ia didera kecelakaan mobil pada tahun 2013. Saat kecelakaan terjadi, kepalanya menghantam dasbor mobil. Sejak saat itu, batuk, bersin, kesulitan tidur, dan sakit kepala yang menyakitkan dialaminya.
"Aku tidak bisa tidur. Jadi, seperti zombie," kenang Kendra, dikutip dari Medical Daily, Selasa (8/5/2018). Sayangnya, dokter hanya bisa mendiagnosis kondisi itu sebagai alergi atau flu.
Tak kunjung sembuh, ia memeriksakan diri ke dokter spesialis Telinga Hidung Tenggorokan (THT) di Nebraska Medicine. Hasil pemeriksaan menemukan, cairan otaknya bocor melalui hidung, yang menyebabkan ia kehilangan hampir setengah liter cairan setiap hari.
Kondisi ini dikenal sebagai rhinorrhea cairan serebrospinal (CSF). Faktor yang jadi penyebab CSF termasuk efek trauma nonsurgical yang terjadi pada 80 persen kasus.
Cairan otak menyerupai cairan bening dan mengalir di bawah penutup luar (dura) dari otak dan sumsum tulang belakang. Fungsi cairan otak seperti bantalan otak, yang menjaga tekanan di dalam mata sekaligus membersihkan sisa metabolisme.
Simak video menarik berikut ini:
Sumber kebocoran diperbaiki
Kebocoran cairan otak terjadi saat dura rusak, begitu penjelasan otolaryngologist dari University of Texas Health Sciences Center, Amber Luong. Jika kebocoran tersebut parah dan tidak ditangani, orang tersebut berisiko terkena infeksi serius.
"Penyebab paling umum [kebocoran cairan otak] adalah trauma, seperti kecelakaan mobil," jelas Luong.
Namun, kebocoran spontan dapat terjadi karena tekanan yang meningkat di dalam tengkorak. Hal ini lebih berpotensi terjadi pada orang yang obesitas (kelebihan berat badan).
Dalam kasus Kendra, ahli rhinologi Kedokteran Nebraska, Christie Barnes dan ahli bedah saraf, Dan Surdell, menggunakan metode non-invasif--tindakan medis yang dilakukan dari luar tubuh--untuk mengoperasikan dan memperbaiki sumber kebocoran.
"Ada alat yang dimasukkan ke lubang hidung, yang dilengkapi kamera. Alat ini memperbaiki kebocoran. Kami menggunakan jaringan lemak Jackson sendiri sebagai sumbat untuk menutup lubang kebocoran," Christie memaparkan.
Kendra menegaskan, ia merasa lebih baik setelah prosedur non-invasif. Tidurnya kembali nyenyak dan kepalanya terasa ringan.
"Ini kali pertama, aku merasa lebih baik selama lima tahun terakhir. Aku tidak perlu lagi bawa sekotak tisu," ucapnya.
Advertisement