Liputan6.com, Jakarta Kejadian terorisme bom Surabaya melibatkan anak. Pelaku bom menumbalkan anak-anak mereka saat melakukan aksi bunuh diri.Â
Anak-anak ini tentu tidak bisa disebut sebagai pelaku. Mereka juga adalah korban, korban dari indoktrinasi radikalisme yang dilakukan oleh orangtuanya. Indoktrinisasi radikalisme ini kemudian bisa mengarahkan anak melakukan kejahatan terorisme, seperti kejadian bom Surabaya.Â
Baca Juga
Ada tanda-tanda indoktrinisasi radikalisme yang terlihat pada anak. Hal tersebut dapat diketahui dari sikap dan perilaku anak.Â
Advertisement
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto mengungkapkan, sikap dan perilaku anak tecermin saat ia berada di sekolah.
"Jika anak terpapar indoktrinisasi, maka yang terjadi anak tidak mau hormat bendera (Merah Putih). Dia juga tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya," kata Susanto dalam konferensi pers di Kantor KPAI pada Selasa (15/5/2018).
Â
Saksikan juga video menarik berikut:
Â
Tidak mau hormat bendera
Tanda-tanda indoktrinisasi radikalisme juga terlihat dari otak pelaku bom di tiga gereja Surabaya, yang berinisial DS. Ayah dari empat anak ini tidak mau hormat bendera. Ia enggan ikut upacara bendera.
"Sejak dia masih SMA. Ayah pelaku bom gereja Surabaya itu tidak mau hormat bendera (ikut upacara bendera) dan menyanyikan lagu Indonesia Raya," tambah Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti.
Pada waktu itu, otak pelaku bom gereja Surabaya menjabat sebagai ketua rohis di sekolahnya. Menilik hal tersebut, perlu upaya inisiasi guru.
"Kejadian ini kan sudah 30 tahun lalu berarti. Pihak sekolah dan guru harus peka, tapi kita harus mendengar, apa alasan dia berbuat seperti itu (tidak mau hormat bendera). Apakah alasannya mengarah pada indoktrinisasi atau tidak," jelas Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati.
Advertisement