Liputan6.com, Jakarta Indonesia kembali dikhawatirkan dengan aksi terorisme. Terorisme berupa pengemboman ini tidak terjadi hanya sekali, tetapi berkali-kali dalam jangka waktu berdekatan. Ledakan bom terjadi di tiga gereja di Surabaya pada hari yang sama, Markas Polrestabes Surabaya, serta Rusun Wonocolo Sidoarjo di hari setelahnya.
Tindakan terorisme ini menyebabkan timbulnya kecaman maupun kegelisahan bagi berbagai pihak. Mereka pun bertanya-tanya, apa sebenarnya yang ada di balik pikiran pelaku terorisme itu sendiri?
Baca Juga
Mengenal Ekstremis
Advertisement
Psikologi menyebut fenomena ini dengan perilaku ekstremis. Ekstremisme sebenarnya bukanlah hal baru. Sudah banyak perilaku ekstremis yang biasanya dikaitkan dengan perilaku terorisme dan penyerangan terhadap suatu kelompok terjadi baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Perilaku ekstremis sedikit berbeda dari perilaku kejahatan pada umumnya. Kejahatan yang dilakukan para ekstremis adalah kejahatan yang berdasar pada jalan yang telah mereka pilih terkait cara pandang mereka terhadap dunia.
Makna Hidup sebagai Alasan
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang mau memilih menjadi ekstremis. Kebutuhan untuk mencari makna hidup adalah salah satunya.
Berdasarkan sebuah penelitian, mereka yang menjadi ekstremis merasa bahwa dengan melakukan tindakan terorisme, membuatnya mendapatkan makna hidup. Pencarian makna hidup ini dapat berarti pemenuhan kebutuhan untuk merasa berarti, disukai dan mendapatkan rasa hormat dari lingkungan sekitar.
Cara pencarian makna hidup yang dilakukan memang termasuk ke dalam kasus khusus karena menggunakan kekerasan. Namun, pada dasarnya hal inilah yang menyebabkan seseorang mau menjadi seorang ekstremis.
"Saya setiap hari hidup dalam keadaan kewaspadaan yang tinggi. Semua yang saya lakukan, betapa pun sepelenya, bisa tampak berarti." -Mantan Teroris
Saksikan juga video menarik berikut:
Alasan Evolusi di Balik Pentingnya Makna Hidup
Makna hidup menjadi penting bagi manusia modern saat ini. Dahulu kala, ketika kita masih merupakan manusia pemburu (hunter gatherer), makna hidup kita secara tidak langsung sudah terpenuhi dengan cara bertahan hidup.
Setiap hari kita berburu, menelusuri rimba dan melawan hewan buas. Proses mencari makanan itu menjadi sebuah sense of purpose (tujuan) atau sense of meaning (makna) yang dimiliki manusia zaman dahulu. Akan tetapi, kehidupan modern yang dipenuhi dengan rutinitas yang berulang membuat kita kehilangan makna hidup itu sendiri.
Maka dari itu, kita berusaha memenuhi makna hidup kita dengan cinta, pekerjaan dan passion. Namun, tidak semua orang beruntung menemukan passion mereka, pun tidak semua orang beruntung menemukan cinta dan atau pekerjaan yang dapat memenuhi makna hidup mereka.
Seseorang yang benar-benar tidak menemukan sense of purpose di hidupnya sangat mudah untuk diajak bergabung menjadi ekstremis. Seperti cerita seorang mantan ekstremis di Inggris, ia mengatakan bahwa ia bergabung dengan kelompok ekstremis karena begitu dia mengenal ideologi dari kelompok tersebut, ia langsung merasa memiliki makna hidup.
Pemikiran Hitam dan Putih
Seseorang dengan pola pikir hitam putih (black and white thinking) dicurigai lebih mudah untuk turut serta dalam aktivitas ekstremisme. Mereka merasa memiliki pengetahuan yang pasti terhadap segala sesuatu.
Mereka melihat “putih” sebagai sesuatu yang “seharusnya” terjadi atau dilakukan semua orang dan “hitam” sebagai bagian yang harus dimusnahkan. Tidak ada area abu-abu, fleksibilitas dan adaptasi.
Pemikiran black and white ini menjadi pola pikir seorang ekstremis karena mereka melihat ideologi mereka sebagai sesuatu yang baik dan sangat ideal. Hal apapun di luar “zona putih” atau ideologi mereka adalah sesuatu yang harusnya tiada atau bahkan dienyahkan.
Advertisement
Menjadi Moderat juga Sulit
Bisa jadi seseorang menjadi ekstremis karena berada di tengah-tengah itu sulit. Menjadi ekstremis adalah pilihan yang membuat seseorang "nyaman" karena berarti memiliki nilai yang dipegang dalam hidup. Selain itu, dapat membuat seseorang memiliki tempat di dunia ini, bersama mereka yang ekstremis.
Mereka yang memilih menjadi ekstremis merasa bahwa hidup mereka lebih mudah karena tidak perlu berkompromi terhadap pandangan lain. Ekstremisme menolak komunikasi konstruktif untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Mereka menolak karena yang mereka inginkan adalah memenangkan apa yang mereka yakini dan perjuangkan. Mereka berada dalam kondisi "panas" dan cenderung melakukan segala cara demi tujuan.
Padahal, komunikasi konstruktif terjadi ketika kedua belah pihak mampu terbuka untuk mendiskusikan serta mengungkapkan perasaan dan permasalahan yang terjadi, demi tercapainya sebuah solusi.
Sebagai tambahan, dalam komunikasi konstruktif, kedua belah pihak dapat menyampaikan segala macam perspektif yang ada dengan menunjukkan sikap saling menghargai dan mendukung satu sama lain.
Kecuali, Menjadi "Moderat Ekstremis"
Apabila kita merasa tidak ingin memihak keduanya, kita cenderung untuk berada di tengah-tengah atau bersikap moderat. Akan tetapi, menjadi moderat pun bisa dibilang salah.
Pihak moderat dianggap sebagai pihak yang lemah dan tidak bisa memilih salah satu pihak. Mereka juga dilihat sebagai pihak yang malas ikut campur, lelah berdebat, dan merasa paling objektif dan netral karena mampu melihat semua sisi.
Akan tetapi, pihak moderat pun bisa dianggap sebagai seseorang yang ekstrem dalam posisi moderatnya. Mereka juga bisa menjadi terlalu angkuh dan berpikiran sempit dalam menilai situasi karena percaya bahwa posisinya sebagai moderat adalah yang paling benar.
Orang moderat tidak sepenuhnya salah. Mereka diibaratkan berada di ujung spektrum perbedaan antara dua belah pihak karena keberpihakannya yang ada di tengah-tengah.
"Bahkan seorang moderat pun bisa termasuk ekstremis"
Alasan-alasan di atas merupakan sebagian alasan mengapa seseorang menjadi ekstremis. Mari evaluasi cara berpikir dan juga kondisi diri kita agar tidak mudah tergabung dengan kelompok ekstremis.
Selain itu, mari kita selalu mengingat bahwa manusia menjadi unik karena kita memiliki perbedaan, termasuk ideologi dan agama. Tugas kita sebagai makhluk yang bisa berpikir dan memiliki perasaan adalah menyebarkan kasih sayang kepada sesama manusia dan bumi ini.
Ditulis oleh Regis Machdy, Zahrah Nabila, dan Ayunda Zikrina dari Pijar Psikologi untuk Liputan6.com