Liputan6.com, Jakarta Sebagian orang memilih tinggal jauh dari hiruk-pikuk kota saat lanjut usia. Alasan di balik pilihannya beragam. Mungkin tinggal di kawasan perumahan tenang yang jauh dari bisingnya lalu lintas kota atau di desa yang tenteram. Namun, itu tidak berlaku bagi RA Soepartien Moestopo, istri Prof Dr Moestopo.
Soepartien memilih tinggal di rumah penuh kenangan yang terletak di kompleks kampus Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama). Paling tidak, sudah lebih dari separuh hidup wanita kelahiran 22 September 1922 ini dijalani di rumah tersebut.
Baca Juga
Jelang Laga Versus Jepang di GBK, Bintang Timnas Indonesia Thom Haye: Atmosfer Bermain di Kandang Itu Gila
Hasil Final Four Livoli Divisi Utama 2024: Indomaret Ceroboh, Rajawali Pasundan Menang
Hasil Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona CONMEBOL: Kejutan, Paraguay Kalahkan Argentina, Brasil Main Imbang
Lokasi rumah yang didiami Soepartien bukan di belakang atau pinggir, melainkan di tengah-tengah bangunan kampus berbentuk huruf U itu. Dengan lebar sekitar 12 meter dan panjang mungkin lebih dari 20 meter, amat mudah bagi orang-orang menyadari keberadaan bangunan itu. Orang yang melewati Jalan Hang Lekir menuju arah Senayan Jakarta Pusat pasti bisa melihat rumah bercat putih bergenteng merah tersebut.
Advertisement
Beberapa waktu lalu, Liputan6.com berkesempatan bertamu ke rumah Soepartien. Kami disambut oleh Hermanto, cucu tertua Moestopo, yang juga Ketua Pembina Yayasan Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama).
“Mari saya kenalkan dengan Beliau,” sambut Hermanto di siang itu.
Hermanto mengajak Liputan6.com masuk ke rumah Soepartien lewat pintu belakang karena bagian depan rumah sedang direnovasi. ‘Ini Rumah Ibu Moes' bunyi tulisan tangan di secarik kertas yang menempel di pintu kayu bercat putih itu.
Saat pintu dibuka, ada wanita berambut putih yang diikat rapi tengah duduk di kursi roda sambil menonton televisi. Hermanto langsung menyapa dan mencium tangan sang eyang, begitu para cucu menyapa Soepartien.
Mungkin karena fungsi pendengaran menurun dan ingatan juga tidak sebaik dulu, Soepartien tidak menjawab. Namun, dia tetap melihat sosok orang yang menyapanya itu. Kemudian wanita kelahiran Kertosono, Jawa Timur, ini kembali mengarahkan pandangannya ke layar TV yang sedang menayangkan program anak-anak itu.
Hermanto bercerita, Soepartien dan Moestopo sudah tinggal di rumah itu sejak 1960-an. “Sejak universitas ini berdiri di 1961, sudah tinggal di sini. Sebelumnya mungkin tinggal di Menteng karena Pak Moestopo kan tentara, sebelumnya lagi sering pindah-pindah mengingat pekerjaan Pak Moes sebagai tentara,” tutur Hermanto.
Ketika mendirikan universitas tersebut, Moestopo harus kerja keras. Moestopo sampai menjual mobil sedan Opel Kapitan untuk membayar gaji para dosen di awal berdirinya fakultas kedokteran gigi di universitas tersebut seperti mengutip Buku Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Yayasan Universitas Prof Dr Moestopo.
Soepartien mendukung berjalannya universitas yang didirikan oleh suaminya ini. Hermanto bercerita, sang nenek turut mengurus bagian rumah tangga kampus tersebut. Mulai dari mengontrol kebersihan kampus sampai makanan para dosen dan staf.
“Dulu, saat masih muda, Beliau pagi-pagi buatkan roti untuk pimpinan dan karyawan di universitas ini,” kenang Hermanto yang pernah tinggal beberapa tahun di rumah itu saat masih kecil.
Tak Mau Pindah
Usai Moestopo meninggal dunia pada usia 73, tepatnya pada tanggal 29 September 1986, Soepartien tetap memilih tinggal di situ. Tak ada rasa kesepian, malah kenyamanan tinggal di lingkungan kampus yang dibesarkan oleh suaminya.
Hermanto pernah memberanikan diri bertanya kepada neneknya apakah mau tinggal di tempat yang lebih tenang. Pertanyaan ini dilontarkan Hermanto saat kondisi Soepartien masih baik, sekitar 5-10 tahun lalu.
"Saya pernah tanya, ‘Eyang mau enggak kira-kira kalau pindah? Kan, Eyang jadi lebih tenang kalau tinggal di luar kampus?’. Tapi Beliau menjawab, ‘Enggak, kenangan saya di sini, saya ikut mengurusi kampus ini’."
Pertanyaan tersebut hanya dilontarkan saat itu saja. Hermanto memilih untuk menghormati keputusan sang nenek tetap tinggal di rumah miliknya sendiri.
Tak mudah juga bagi Hermanto meyakinkan sang nenek untuk merenovasi rumah tersebut. Awalnya Soepartien tak mengizinkan.
"Renovasi ini tak banyak perubahan. Justru direnovasi karena kayu-kayunya sudah rapuh. Kan, ini rumah tua. Ini saja untuk minta renovasi sulit, tapi karena saat itu sudah mau roboh akhirnya dibolehkan," tutur Hermanto.
Advertisement
Bahagia melihat mahasiswa
Ketika aktivitas kampus berjalan, ratusan bahkan ribuan mahasiswa datang ke kampus. Suara ramai mahasiswa mengobrol serta bunyi mesin kendaraan yang parkir di halaman Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) tak menganggu Soepartien.
Sering dari bilik jendela kaca, Soepartien mengarahkan pandangan ke luar. Melihat mahasiswa yang sedang menuju kelas untuk kuliah atau sedang bercanda gurau dengan teman-teman mereka.
“Justru karena ada mahasiswa, Beliau malah senang, mengamati mereka,” tutur Hermanto lagi.
Aktivitas kampus tentu tak cuma seputar perkuliahan. Beberapa kali juga digelar festival musik atau pertunjukkan band di kompleks kampus. Jangan bayangkan, ibu dari tiga putra dan nenek dari 11 cucu ini kesal. Ia ikut menikmati.
“Pernah dulu ada band-band-an, Bu Moestopo minta diajak keluar untuk melihat dari kejauhan. Kalau enggak ya lihat dari kaca rumah,” tutur Suster Lusi, yang sudah 10 tahun membantu merawat Soepartien.
Disiplin jalani aktivitas harian
Sehari-hari, Soepartien menjalani aktivitas di dalam rumah. Jika, aktivitas perkuliahan sedang libur, orang-orang terdekatnya mengajaknya jalan-jalan di lorong kampus pada pagi atau sore hari.
Dulu, ketika pendengarannya masih baik dan bisa berkomunikasi dengan baik, dia sering keluar rumah. Bertemu dengan para mahasiswa. Bahkan, kata Suster Lusi, dia bisa mengenali mana yang mahasiswa baru dan bukan.
Pada mahasiswa baru yang berpapasan, Suster Lusi biasanya akan mengenalkan Soepartien, Jika ada mahasiswa lama, bakal minta bersalaman atau foto bersama. Ada juga yang minta didoakan agar cepat lulus seperti disampaikan Suster Lusi.
Sesudah jalan-jalan, diikuti dengan makan pagi. Susu dan roti cokelat adalah asupan favoritnya. Biasanya akan menonton televisi atau tidur sesudahnya. Semuanya aktivitasnya hariannya terjadwal rapi.
Itu bisa jadi alasan Soepartien sering menanyakanan, ‘Saiki jam piro?’ atau “Sekarang jam berapa?’ ke orang-orang di sekitarnya.
Kedisiplinan hidup, termasuk jam makan dan menjalani hidup sehat, menurut Hermanto, jadi faktor yang membuat neneknya itu panjang umur.
“Pola hidupnya beliau sehat, disiplin dalam hal makanan dan kebersihan. Misalnya makan tepat waktu dan makan dengan apa,” cerita Hermanto.
Sesekali, Soepartien bersama orang-orang yang membantunya jalan-jalan. Sekitar sebulan terakhir jalan-jalan ke Bandung untuk menengok makam Moestopo. “Jadi, masih okelah kondisi eyang untuk jalan-jalan,” ucap Hermanto.
Advertisement