Liputan6.com, Jakarta Seorang pasien, sebut saja A, mendadak mengalami nyeri dada hebat disertai sesak napas. Ia pun dibawa keluarganya ke rumah sakit terdekat. Perawat yang bertugas menanyakan apa yang dikeluhkan pasien lalu memanggil dokter yang bertugas jaga.
Baca Juga
Dokter B, yang sedang berjaga, menengok pasien lalu menanyakan kembali gejala yang dialami dan menjelaskan prosedur pemeriksaan.
Advertisement
Setelah pasien setuju, ia minta izin keluarga undur diri, dan akan kembali jika hasilnya sudah ada. Ia pun berkata pada perawat, “Sus, tolong pasang lead EKG-nya. Saya mau kerjakan riset dahulu.
Kalau hasilnya sudah ada baru bilang saya ya.” EKG adalah elektrokardiografi, sebuah pemeriksaan untuk mencari adanya kelainan listrik pada jantung. Perawat pun bertanya, “Kenapa, Dok? Dokter bukannya bisa pasang sendiri lead-nya?”
Dokter pun menoleh kiri kanan dengan waspada, lalu berbisik kepada perawat, “Pasiennya wanita (dari sebuah etnis). Kalo saya pegang batal puasa saya nanti.”
Perawat, yang sesama wanita, mengangguk dan melakukan apa yang diminta Dokter B. Beberapa menit kemudian, perawat selesai memeriksa pasien.
“Dok, sudah selesai. Ini hasilnya,” kata perawat sambil menyodorkan hasil pemeriksaan EKG.
“Ah, ini sih STEMI. Beri saja penanganan yang biasa,” ujar Dokter B, sambil melanjutkan urusannya. STEMI adalah singkatan dari ST-elevated myocardial infarction, yang merupakan bagian dari penyakit jantung koroner.
Dokter B lupa bahwa pasien A mengalami sesak napas. Beberapa menit kemudian, sesak napas pasien memburuk dan akhirnya terjadi henti napas. Pasien A pun tak terselamatkan.
Cerita ini merupakan salah satu contoh kelalaian dokter dalam menolong pasien. Terjadi, karena ia meremehkan pasien hanya karena perbedaan etnis. Seharusnya, hal ini tidak perlu terjadi. Lantas, bagaimana seharusnya seorang dokter bertindak?
Menurut WHO, kualitas diri terpenting seorang dokter ada 5, yaitu penyedia layanan, pembuat keputusan, komunikator, pemimpin komunitas, dan manajer. Kualitas diri ini sangat diperlukan untuk mencapai pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien. Namun, kualitas diri seorang dokter yang berhubungan erat dengan masalah di atas adalah dokter sebagai penyedia layanan dan pemimpin komunitas.
Sebagai penyedia layanan, dokter diharapkan dapat menangani pasien secara menyeluruh. Pasien adalah seorang manusia, yang memiliki akal dan budi. Pasien harus ditangani dengan memperhatikan keadaan fisik, mental, dan sosial. Tak hanya itu, pasien juga harus mendapatkan penanganan secara menyeluruh, mulai dari pencegahan, pengobatan, dan perbaikan.
Jika ditinjau dari sisi penyedia layanan, Dokter B gagal menyediakan penanganan yang terbaik bagi pasien. Jangankan menangani, mendiagnosis saja ia sudah melakukannya dengan salah. Pasien A merupakan salah satu kasus gagal jantung akut, yang memiliki perbedaan penanganan dengan penyakit jantung koroner. Karena itu, seorang dokter semestinya sudah tahu dan harus selalu waspada dalam menangani pasien.
Tak hanya itu, sebagai penyedia layanan, dokter juga harus mengetahui latar belakang pasien. Latar belakang ini misalnya pekerjaan, keluarga, ekonomi, dan yang tak kalah penting: agama dan budaya. Dengan mengetahui latar belakang pasien, dokter dapat menentukan penanganan terbaik yang dapat diberikan kepada pasien tersebut. Misalnya, jika pasien seorang vegetarian yang mengalami anemia, kita tidak mungkin memintanya untuk memakan daging.
Sementara itu, sebagai pemimpin komunitas, dokter diharapkan dapat berpikir secara universal. Universal, dalam kamus, berarti “Suatu keadaan yang bersifat umum dan menyeluruh, tanpa batas atau pengecualian”. Dokter harus memahami komunitasnya, mulai dari fisik, budaya, hingga lingkungan. Dokter juga harus peduli terhadap kegiatan komunitas yang dapat mempengaruhi aspek kesehatan komunitasnya. Tidak hanya itu, dokter tidak boleh pilih-pilih dalam menangani pasiennya.
Berkaitan dengan masalah di atas, Dokter B seharusnya bersikap lebih terbuka. Maksudnya, ia seharusnya menangani pasien A sebagaimana ia menangani pasien lainnya, tanpa membedakan etnis dari pasien A. Hal ini tercantum dalam lafal Sumpah Dokter Indonesia, yang berbunyi,
“Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien.”
Berdasarkan lafal Sumpah Dokter tersebut, dokter di Indonesia diharapkan dapat bersikap universal, karena Indonesia sangat beragam budayanya. Lalu, bagaimana seorang dokter dapat bersikap universal?
Universalitas seorang dokter
Salah satu contoh seorang dokter yang menghayati semangat universalitas yang tinggi adalah dr. Lie Dharmawan. Lie adalah pendiri DoctorSHARE, sebuah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang medis. Yayasan ini kemudian mendirikan Rumah Sakit Apung dr. Lie Dharmawan yang dibuat dari kayu dan disekat untuk ruang rawat inap dan bedah.
Yang menarik dari Lie adalah kebaikannya. Dia mendirikan rumah sakit apung tersebut bukan hanya untuk sebuah gaya baru, tetapi untuk masyarakat miskin. Dia pergi berlayar mengelilingi Indonesia, menolong masyarakat miskin yang sakit, tidak memiliki biaya berobat, serta terpencil dari sisi geografis. Semua ini dilakukannya secara sukarela, demi memeratakan pelayanan kesehatan di seluruh pelosok Indonesia. Dokter di Indonesia tidak perlu melakukan hal seperti dr. Lie dalam bersikap universal. Contoh lainnya tentu saja banyak yang dapat dilakukan.
Pertama, seorang dokter dapat mempererat kerja sama antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Seorang dokter, seperti tercantum pada lafal Sumpah Dokter Indonesia, “Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung”, wajib menjaga kerukunan berbangsa. Saat ini, banyak sekali paham radikalisme yang mengancam persatuan, bahkan di kalangan para dokter. Oleh karena itu, seorang dokter diharapkan untuk menjadi agen persatuan dengan membasmi radikalisme tersebut.
Kedua, seorang dokter dapat turun ke masyarakat. Saat ini, Indonesia membutuhkan dokter yang bersedia turun ke daerah-daerah terpencil. Hal ini diperlukan untuk memperbaiki kesenjangan pelayanan kesehatan. Perbaikan ini dapat dilakukan dengan memeratakan jumlah dokter di Indonesia, kemudian melakukan riset mengenai penyakit-penyakit di Indonesia, yang selanjutnya dapat digunakan untuk membuat kebijakan mengenai kesehatan di daerah-daerah terpencil.
Advertisement
Perkaya pengetahuan
Ketiga, seorang dokter dapat memperkaya pengetahuannya tentang kebudayaan di Indonesia. Pengetahuan ini didapatkan dengan membaca, menjelajah internet, atau datang langsung ke tempat suatu kebudayaan berada, misalnya dalam rangka internship, kerja lapangan, atau sekadar berjalan-jalan.
Pengetahuan ini kelak akan berguna bagi sang dokter untuk melayani masyarakat, misalnya dengan mengetahui pandangan masyarakat terhadap dokter dan kesehatan secara umum.Kemudian, pengetahuan ini dapat digunakan untuk membuat penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat terkait dengan ciri khas daerah/budaya tersebut.
Keempat, seorang dokter dapat menggunakan pengetahuannya untuk mengikutsertakan pasien dalam membuat keputusan. Seorang dokter yang sudah mengetahui berbagai budaya dapat mengedukasi pasiennya lebih baik. Dengan adanya edukasi, wawasan pasien akan lebih terbuka dan pasien dapat menentukan keputusannya dengan lebih baik.Edukasi ini sangat penting karena pasien seringkali dihadapkan dengan berbagai pilihan terapi yang bervariasi dari harga, efektivitas, dan efek samping.
Kelima, seorang dokter dapat menggunakan pengetahuannya untuk membangun kebersamaan dengan pasien. Dokter dan pasien haruslah menjalin sebuah hubungan yang didasarkan oleh rasa kemanusiaan dan kebersamaan. Dokter, sebagai penyedia layanan, harus mampu berempati pada pasien sebagai seorang manusia, untuk mencapai kebersamaan tersebut. Dengan adanya kebersamaan ini, tali persaudaraan antara dokter dan pasien pun akan semakin erat.
Teresia Putri Widia Nugraheni, Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia