Sukses

Menyingkap Asal Mula Istilah Halalbihalal Saat Hari Raya Idul Fitri

Menyingkap istilah 'halalbihalal' yang dilakukan tiap Hari Raya Idul Fitri tiba sekaligus penggagas istilah tersebut.

Liputan6.com, Jakarta Ketika Hari Raya Idul Fitri tiba, acara halalbihalal menjadi tradisi yang tak terpisahkan. Sebuah momen yang berharga berkunjung ke rumah tetangga, saudara, dan kerabat untuk halalbihalal. Setiap individu pun saling memaafkan dan bersalam-salaman.

Meski lazim terdengar, kebanyakan orang mungkin mengira istilah 'halalbihalal' dari bahasa Arab, yakni al-halal-bil-halal. Namun, 'halalbihalal' sebenarnya berasal dari kata serapan 'halal' dengan sisipan 'bi' yang berarti 'dengan' (bahasa Arab) di antara 'halal'. Oleh karena itu, penambahan 'al' pada 'bihalal' tidak tepat. 

Dari penjelasan dalam unggahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, ditulis pada Sabtu (23/6/2018), cara penulisan pun harus digabung, yang menjadi 'halalbihalal', bukan 'halal bihalal.' Ini dikarenakan ketiga unsur (halal, bi, halal) adalah satu kesatuan. 

Halalbihalal tidak dapat diartikan secara harfiah dan satu persatu antara halal, bi, dan halal.  Istilah 'halal' berasal dari kata 'halla' dalam bahasa Arab, yang mengandung tiga makna, yaitu halal al-habi (benang kusut terurai kembali); halla al-maa (air keruh diendapkan); serta halla as-syai (halal sesuatu).

Dari ketiga makna tersebut dapat ditarik kesimpulan makna halalbihalal adalah kekusutan,kekeruhan atau kesalahan yang selama ini dilakukan dapat dihalalkan kembali. Artinya, semua kesalahan melebur, hilang, dan kembali sedia kala.

 

 

Simak video menarik berikut ini:

2 dari 4 halaman

Penggagas istilah

Penggagas istilah 'halal bihalal adalah KH Abdul Wahab Chasbullah. Cerita bermula setelah Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1948. Pada waktu itu termasuk pertengahan bulan Ramadan. 

Para elit politik saling bertengkar dan tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara itu, pemberontakan terjadi di mana-mana, seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan PKI Madiun.

Terkait hal tersebut, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah, ulama dan tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU) ke Istana Negara. Ia diminta saran untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tengah carut-marut. 

Saran KH Wahab adalah menyelenggarakan silaturahim. Hal itu dilontarkan bertepatan menyambut Hari Raya Idul Fitri, yang mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahim.

"Silaturahimkan biasa, saya ingin istilah yang lain," komentar Bung Karno, sebagaimana ditulis KH Masdar Farid Mas’udi, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dari laman NU Online.

KH Wahab menjawab, para elit politik tidak mau bersatu dikarenakan mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu adalah dosa. 

"Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah 'halal bihalal', jelas KH Wahab.

3 dari 4 halaman

Penyelenggaraan halalbihalal

Atas saran KH Wahab, pada Hari Raya Idul Fitri di tahun 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi judul 'Halalbihalal.'

Para tokoh politik akhirnya duduk satu meja. Mereka mulai menyusun kekuatan dan persatuan bangsa ke depan.

Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Bung Karno menyelenggarakan halalbihalal. Halalbihalal kemudian diikuti masyarakat Indonesia secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. 

Bung Karno bergerak di instansi pemerintah, sedangkan  KH Wahab menggerakkan masyarakat. Halalbihalal menjadi kegiatan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri hingga sekarang.

4 dari 4 halaman

Sungkem dalam halalbihalal

Sungkem yang ada pada halalbihalal sendiri dimulai sejak  Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Setelah Hari Raya Idul Fitri, ia menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa juga prajurit secara serentak di balai istana.

Mereka dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Budaya ini pun ditiru oleh masyarakat luas, termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah. Namun, sungkem yang dilaksanakan Pangeran Sambernyawa belum menyebut istilah 'halalbihalal.' 

Itilah "halal bihalal" dicetuskan oleh KH Wahab Chasbullah dengan makna pertama (thalabu halâl bi tharîqin halâl) adalah mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Makna kedua (halâl "yujza'u" bi halâl) adalah pembebasan kesalahan dibalas  dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.