Liputan6.com, Jakarta Hukum perlindungan kedokteran rupanya belum memberikan perlindungan sepenuhnya bagi dokter. Hal ini terlihat pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pasal 66 ayat 3.
Baca Juga
Advertisement
Pasal itu menyebutkan, "Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan, atas tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran, atau adanya dugaan tindak pidana, berhak melaporkan kepada pihak yang berwenang dan atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan."
Dalam praktiknya, pasal 66 ayat 3 justru menimbulkan ketidaktenangan dan ketidaknyamanan pada dokter. Dokter menjadi ragu-ragu dalam melaksanakan tugasnya.
"Peraturan Menteri Kesehatan RI (Permenkes) No 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas juga tidak menyebutkan tentang perlindungan hukum bagi dokter atau tenaga kesehatan lain yang bertugas di Puskesmas," kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Ilham Oetama Marsis saat memaparkan presentasi dalam acara "Diskusi Nasional Kesadaran Hukum Kedokteran 2018" di Hotel Aryaduta Tugu Tani, Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Â
Â
Simak video menarik berikut ini:
Ketidakpercayaan publik
Dalam menjalani profesi sehari-hari, dokter juga kerap menghadapi gugatan hukum. Jumlah kasus gugatan hukum terhadap dokter yang diterima PB IDI dari tahun 2015 sampai pertengahan 2018 mengalami naik-turun.
Pada tahun 2015 ada 10 kasus gugatan hukum; pada tahun 2016 ada 20 kasus; tahun 2017 ada 38 kasus; dan pertengahan 2018 ada 33 kasus gugatan hukum.
Adanya gugatan hukum tersebut akhirnya membuat dokter harus menyelesaikan kasus pada jalur hukum. Ketika dokter tidak dinyatakan bersalah, dokter pun kurang mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
"Meski dinyatakan bebas, namun menyisakan trauma mendalam. Muncul ketidakpercayaan publik terhadap dokter yang bersangkutan," Marsis melanjutkan.
Untuk itu, Marsis berharap, perlu ada peningkatan perhatian dan tanggung jawab institusi pelayanan kesehatan terhadap perlindungan hukum bagi dokter.
Advertisement