Sukses

Gelombang Panas Hambat Aksi Pemulihan Jepang Usai Banjir Besar

Gelombang panas melanda wilayah Jepang Barat pada Senin 16 Juli 2018 lalu, seminggu setelah dilanda bencana banjir yang menewaskan lebih dari 200 orang.

Liputan6.com, Jakarta Gelombang panas melanda wilayah Jepang Barat pada Senin 16 Juli 2018 lalu, seminggu setelah dilanda bencana banjir yang menewaskan lebih dari 200 orang. Gelombang panas yang menyesakkan menghambat upaya pemulihan banjir yang dilakukan tim penyelamat dengan dibantu oleh korban selamat.

Puluhan ribu tim penyelamat masih mencari korban jiwa yang belum ditemukan. Bencana ini adalah bencana terburuk di Jepang selama tiga dekade terakhir. Tercatat sebanyak 219 korban telah ditemukan, dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan dengan setidaknya 21 korban menghilang.

Sementara gelombang panas yang terjadi meningkat pada suhu 35 derajat celsius. Sekitar 4.700 korban selamat dievakuasi dari daerah banjir. Sementara rumah-rumah warga hancur menjadi puing-puing akibat banjir dan tanah longsor. Beberapa warga selamat memilih untuk tetap bertahan di penampungan.

Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga mengingatkan para korban, relawan, dan 64.000 tim penyelamat akan bahaya sengatan gelombang panas tersebut.

"Kami beroperasi dalam kondisi sulit, dengan gelombang panas yang cukup parah di wilayah ini," kata Koji Kunitomi, juru bicara di departemen manajemen bencana di Prefektur Okayama yang dilanda banjir, mengatakan kepada AFP.

 

Saksikan juga video menarik berikut:

2 dari 2 halaman

Lebih Panas dari Biasa

Cuaca musim panas yang menyengat telah menyapu seluruh Jepang dalam beberapa hari terakhir, mengirimkan suhu yang melonjak hanya dalam beberapa hari setelah rekor curah hujan terjadi di Jepang.

Badan meteorologi Jepang telah memperingatkan bahwa panasnya "lebih parah" dari biasanya, dengan suhu di Okayama mencapai 36,8 derajat Celcius pada Senin, dibandingkan dengan rata-rata suhu biasanya 31derajat Celcius di kota tersebut.

Akibat peristiwa tersebut pemerintah Jepang mengalami kerugian pertanian setidaknya 48 miliar yen (US $ 429 juta), menurut Suga. 

 

Penulis: Nita Utami