Liputan6.com, Jakarta Start up adalah utopia generasi milenial. Tempat kerja impian yang menjanjikan semangat, tujuan, renjana, kenyamanan, fleksibilitas dan kemajuan teknologi. Ditambah lagi, start up didominasi oleh anak-anak muda yang tidak birokratis dan hierarkis.Â
Imej start up di benak anak muda sangat menggiurkan. Terutama untuk mereka yang sudah telanjur alergi dengan cerita-cerita terkait budaya korporasi yang lambat dan terlalu struktural.
Baca Juga
Di samping janji-janji surgawi bekerja di start up, ada banyak hal tidak mengenakkan yang dialami anak-anak muda yang bekerja di sana. Belum lagi start up juga punya banyak kategori. Ada yang masih kelas ikan teri dan tidak bisa memberimu apa-apa, selain kesempatan magang berjanji pengalaman berharga hingga kelas kakap yang budaya perusahaannya sudah tak berbeda dengan budaya korporasi.
Advertisement
Berikut adalah lika-liku stres dan bahagia bekerja di start up:
Bekerja di Luar Kemampuan
Start up memang dunia yang penuh dengan renjana. Setiap tugas di kantor semuanya berasaskan tujuan baik bagi umat manusia. Hal inilah yang menjadi daya tarik para milenial yang krisis eksistensial. Mereka tidak bisa bekerja dalam rutinitas dan ketiadaan tujuan yang berfaedah.
Atas nama target pekerjaan dan lean structure, siap-siap saja melakukan tugas di luar deskripsi pekerjaan. Tidak peduli kamu lulusan mana atau jabatannya apa, kamu harus bisa menjadi specialist di setiap bidang, bukan sekadar jack of all trades. Dari mulai menulis konten, menjadi copy writer, mendesain brosur kampanye hingga mencari klien. Semuanya harus bisa kamu lakukan sendiri atau bersama tim kecilmu.
Bekerja di Luar Jam
Bekerja di start up artinya harus siap dengan segala perubahan mendadak, bahkan setengah jam sebelum jam pulang kerja. Selain itu, budaya kerja yang fleksibel malah membuat milenial bekerja lebih dari 8 jam tanpa menyadarinya.
Budaya jam datang dan pulang yang fleksibel asal kerjaan kelar terkadang malah melebihi budaya lembur di korporasi dengan hitungan lembur yang tidak jelas.  Belum lagi ditambah networking event di penghujung minggu serta surel, pesan teks dan telepon urusan kantor di luar jam kerja.
Padahal, menerima pesan atau telepon urusan kantor di luar jam kerja dapat memengaruhi kesehatan mental pekerja. Beberapa negara seperti Prancis dan Jerman pun telah mengampanyekan hal tersebut demi menjamin kesehatan mental pekerjanya.            Â
Â
Â
Â
Harus Selalu Kreatif Bikin Stres
Kreativitas itu konstan dan harus terus-menerus ada jika bekerja di start up. Milenial yang bekerja di start up ataupun industri lain yang menuntut inovasi dan kreativitas akan selalu dibayang-bayangi stres.
Setiap hari harus selalu ada ide baru. Hari-hari start up adalah hari-hari penuh ide dan uji coba. Pekerja diminta kreatif dalam menelurkan ide-ide baru, serta kreatif juga dalam mewujudkan ide yang mereka miliki. Belum lagi mereka harus menyesuaikan ide mereka yang gigantic dengan jumlah personel dan uang proyek seadanya.
Tak heran jika milenial yang bekerja di start up memiliki kepuasan kerja yang tinggi, tapi burnout saat masa-masa honeymoon di pekerjaan sudah usai.
Selain erat kaitannya dengan burnout, efek stres juga dipengaruhi deadline ketat yang sudah menjadi makanan sehari-hari penggiat start up. Deadline yang ketat dan sedikit stres memang berguna untuk memicu ide kreatif.
Akan tetapi, deadline ketat dalam jumlah banyak menjadi stres yang sudah tidak lagi sehat untuk tubuh dan pikiran. Maka dari itu, tidak heran kalau pekerja di industri yang mengedepankan kreativitas lebih rentan terhadap stres dan kecemasan.
Jenjang Karier yang Tidak Jelas
Berbeda dengan korporasi besar yang memiliki jenjang karier yang pasti, walaupun harus mengantre dan mengalah pada yang lebih senior, dunia start up dan industri kreatif belum bisa menjanjikan jenjang karier yang jelas. Apalagi jika kita berbicara start up kelas teri, jangan berharap bisa naik jabatan ke level manajer dalam hitungan tahun.
Jabatan yang tersedia belum tentu ada. Selain itu, untuk posisi-posisi seperti content writer, copywriter, videographer, dan graphic designer, bisa jadi jabatan itulah yang selamanya akan kamu sandang selama kamu berkarya di kantor yang sama.
Hal ini membuat milenial yang memang secara alamiah mudah cemas semakin rentan stres ketika ditanya nasib kehidupannya kelak oleh keluarga besar. Tidak ada kejelasan jenjang karier dan peningkatan gaji. Apalagi jika ditanya rencana pensiun, sungguh jauh dari bayangan.
Advertisement
Gaji yang Ternyata Segitu Saja
Bekerja di start up kelas teri kadang tidak ada bedanya dengan bekerja di yayasan. Gajinya hanya segitu-segitu saja, habis tepat di hari ke tiga puluh. Belum lagi start up kelas teri juga belum punya mekanisme tunjangan yang jelas.Â
Start up yang notabene berisikan anak-anak muda yang masih tak tahu jodohnya siapa, belum punya kebijakan pasti tentang berbagai tunjangan nikah, anak dan bahkan kesehatan.
Akan tetapi, generasi milenial tetap semangat bekerja karena setiap start up menggemborkan misi yang kuat. Persis seperti yayasan, bahwa apa yang dikerjakan oleh mereka akan menjadi sebuah perubahan di dunia, sebuah disruptive innovation.Â
Paling mentok, start up akan menjanjikan bahwa ritme kerjamu tidak akan membosankan. Selain itu, bekerja di start up kelas teri akan membuat kamu memiiki pengalaman banyak karena kamu benar-benar akan membantu sebuah perusahaan baru untuk bertahan.
Coworking Space yang Menghapus Personal Space
Beberapa kantor start up sangat bebas dari sekat tembok dan bentuk ruangan kotak-kotak. Hal ini merefleksikan bebasnya ide dan luwesnya budaya kerja di start up. Selain itu, ruangan yang bebas sekat digunakan untuk mendorong kerja sama antar bagian yang cepat dan fleksibel. Beberapa start up juga masih menggunakan coworking space demi menunjang kolaborasi antar start up.
Hal ini sangat menyenangkan untuk seminggu atau sebulan pertama. Namun, seiring waktu, nuansa ini terlalu ramai. Tidak ada privasi untuk kita serta mencari inspirasi ketika suntuk.
Nuansa coworking space ataupun kantor tanpa sekat juga tidak cocok untuk orang yang membutuhkan personal space tinggi. Orang-orang ini memang secara naluriah butuh jarak fisik untuk merasa nyaman saat berinteraksi. Mereka juga butuh kesendirian untuk recharge energi dan menyelesaikan pekerjaan. Sayangnya, start up kelas teri tidak bisa memfasilitasi kebutuhan ini.
Bekerja di start up memang menyenangkan, karena memfasilitasi kebutuhan milenial yang tidak bisa diam dan juga butuh tujuan hidup. Akan tetapi, lika-liku stres di juga tidak kalah dramatis dengan kerja di korporasi besar.
Jadi gimana, masih menganggap bekerja di start up itu ideal?
Tulisan Regis Machdy dari Pijar Psikologi untuk Liputan6.com