Liputan6.com, Jakarta Kondisi udara di Jakarta makin hari makin memburuk. Dari pengamatan yang dilakukan pada pukul 09.30 WIB, pada 2 Agustus 2018 di atas sebuah gedung di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, tampak seperti diselimuti kabut.
Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) dari catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jakarta Timur 92, Jakarta Pusat 62, Jakarta Utara 92, Jakarta Selatan 104, dan Jakarta Barat 184. Semua dihitung dengan parameter mutu udara masih menggunakan (particulate matter) PM 10.
Baca Juga
Meskipun berdasar Kepmen LH nomor Kep-45/Menlh/10/10/1997, kriteria kualitas udara di beberapa wilayah Jakarta ini masih dalam taraf aman bagi manusia, indeks yang sudah masuk rentang 51-101 tetap perlu menjadi perhatian. Tingkat kualitas ini disebutkan tidak memberikan efek bagi kesehatan manusia atau hewan, tetapi berpengaruh pada tumbuhan yang sensitif dan nilai estetika.
Advertisement
Sayangnya, penggunaan alat monitoring PM 10 tidak bisa menggambarkan efek udara pada kesehatan manusia secara lebih detail. Diperlukan alat pemantau udara yang bisa mengetahui debu dengan ukuran yang lebih kecil, yakni dengan alat ukur PM 2,5.
"Kalau masih pakai PM 10, masih banyak kekurangannya, karena hanya partikel debu yang besar saja yang diketahui. Padahal, kalau mau mencerminkan risiko udara pada kesehatan manusia, perlu dipakai alat pemantau PM 2,5," kata Budi Haryanto dari Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Dengan alat pemantau PM 2,5 bisa diketahui suatu area termasuk dalam kondisi udara tingkat sehat, tidak sehat bagi orang yang sensitif (seperti asma atau gangguan pernapasan), dan tidak sehat. Alat ini bisa mengetahui debu dengan partikel di bawah 2,5 mikronmeter yang bisa masuk sampai ke paru manusia.
Bila suatu area dengan tingkat PM 2,5 tidak sehat, berarti masyarakatnya banyak menghirup partikel yang bisa membahayakan paru. Bila dibiarkan lama-lama bisa menyebabkan penyakit kronis, seperti asma, Penyakit Paru Obstruktif Konstruktif (PPOK), dan bronkitis.
Ketinggalan dari luar negeri
Di beberapa kota besar seperti Kuala Lumpur, Singapura, dan Tokyo, parameter mutu udara sudah menggunakan PM 2,5. Bahkan, ada juga yang sudah menggunakan PM 1.
Di Kuala Lumpur ada 24 titik alat pantau PM 2,5, sementara di Hongkong mencapai 42. Bahkan di Tokyo, bila alat pemantau udara sudah sampai di level merah yang berarti tidak sehat, kata Budi, bagian lalu lintas mereka akan meminta agar pengemudi memilih area lain yang masih hijau.
"Jadi, kita masih ketinggalan teknologi. Di luar negeri sudah pakai teknologi PM 2,5. Indikasi terjadinya pencemaran yang membahayakan manusia itu di patokan 2,5 mikronmeter," tegasnya lagi.
Idealnya, bila pemerintah provinsi DKI Jakarta serius peduli pada kesehatan masyarakatnya mengganti alat pemantau PM 10 dengan 2,5.
"Kami sudah menghitung, dengan luas Jakarta diperlukan sekitar 25 alat pemantu PM 2,5. Jumlah itu bisa merepresentasikan kualitas udara Jakarta seperti apa," tuturnya.
Budi berharap, saat nanti pemerintah sudah menerapkan parameter mutu udara PM 2,5, diharapkan bisa dapat diakses oleh masyarakat dengan mudah.
"Sehingga memberikan kesempatan bagi warga untuk memutuskan untuk pergi ke daerah yang tinggi polusi udara atau tidak. Sehingga, kehadiran alat pemantau ini bisa sebagai early warning untuk menghindari daerah yang tinggi polusi," tutur pria yang juga aktif di Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia ini.
Advertisement