Liputan6.com, Surabaya, Jawa Timur Habil Josef Glinka, guru besar asing bidang Ilmu Antropologi di Indonesia sukses melahirkan 13 doktor, baik sebagai promotor dan co-promotor. Pria kelahiran Chorzow, Polandia pada 7 Juni 1932 yang akrab disapa Pater Glinka ini sudah 27 tahun mengabdi di Universitas Airlangga (UNAIR), Surabaya, Jawa Timur, dari 1985 sampai 2012. Ia bangga atas keberhasilannya mencetak doktor bidang Ilmu Antropologi.
Baca Juga
Advertisement
Sebagai Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR, sepak terjang Glinka tak mudah. Ini karena pada waktu bergabung mengajar, Jurusan Antroplogi baru dibuka. Glinka mengembangkan ilmu antropologi ragawi. Antropologi ragawi adalah bagian ilmu Antropologi yang memusatkan perhatian pada manusia sebagai organisme biologis.
Glinka menjejakkan kaki ke Indonesia pada 27 Agustus 1965. Ia datang karena ada informasi dari diplomat Polandia di Jakarta, ada seorang antropolog yang menikah dengan wanita Polandia saat studi di Moskow, Rusia, yakni ahli antropologi budaya, Ave.
Ave mereferensikan kepada Glinka untuk menemui Munandar di Bagian Anatomi Universitas Indonesia. Munandar bukan ahli antropologi, tapi pernah melakukan penelitian di Kalimantan. Setelah berdialog, Munandar menceritakan, dia punya seorang teman di Surabaya. Dialah Lie Gwan Liong, yang dikenal dengan nama Adi Sukadana, di Bagian Anatomi FK UNAIR.
Adi mengundang Glinka ke Surabaya. Sejak saat itu, Glinka rajin bertemu Adi. Sebelum mengajar di UNAIR, Glinka yang juga Pastor lulusan Seminari Tinggi SVD di Pieniezno (Polandia) tahun 1957 ini pergi ke Flores bertemu Romo Yosef Diaz Viera, dikutip dari laman UNAIR, Minggu (26/8/2018), Romo Yosef merekrut banyak Pastor untuk ditugaskan di Flores. Glinka pun mengajar di Seminari Tinggi Ledalero, Flores dari tahun 1966 sampai 1985.
Â
Â
Â
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Â
Simak video menarik berikut ini:
Ambil alih semua mata kuliah
Disertasi doktoral Glinka mengenai Indonesia ternyata membuat Adi semakin tertarik pada Glinka. Antropolog lulusan Universitas Mickiewicz, Poznan, Polandia ini kemudian dirayu untuk bergabung dalam organisasi Anatomi Indonesia, yang di dalamnya antara lain ada Adi Sukadana dan Teuku Yacob. Adi mengajak Glinka menggabungkan antara antropologi budaya dengan bio-antropology yang dikuasai Glinka.Â
Setelah mempertimbangkan matang, peraih Profesor dari Uniwersytet Jagiellonski, Krakow tahun 1977 ini bergabung di Bagian Anatomi UNAIR. Pada tahun 1984, Glinka datang ke UNAIR, ternyata SK pembentukan Departemen Antropologi UNAIR sudah turun, kemudian tahun 1985 Jurusan Antropologi dibuka. Sejak Juli 1985, Glinka pindah ke Surabaya sampai saat ini. Ia tinggal di Surabaya sudah lebih dari 30 tahun.Â
Perjuangan awal mengajar dimulai. Pada minggu-minggu awal, jadwal mengajarnya 14 jam per minggu. Glinka menulis hand out sendiri untuk mahasiswa. Momen terberat terjadi pada tahun 1990. Ia terpaksa mengambil alih semua mata kuliah yang diajarkan Adi, baik yang di FK, FKG, dan FISIP. Ini dikarenakan Adi meninggal. Ia sakit saat melakukan penelitian di Banyuwangi. Sempat mendapatkan perawatan di rumah sakit, tapi nyawanya tidak tertolong.
Rasa lelah merasuki Glinka karena ia harus mengemban tugas mengajar yang begitu banyak. Ia meminta kepada Rektor UNAIR saat itu, Soedarso Djojonegoro untuk punya asisten. Myta (Myrtati Dyah Artaria), mahasiswa angkatan pertama yang sudah selesai skripsi dipilih menjadi asisten. Tugas Glinka pun mulai terasa ringan sejak ada asisten.
Pengalaman pertama mengajar masih tertanam. Glinka, yang sebelumnya mengajar di seminari di lingkungan Katolik, yang siswanya laki-laki. Kemudian mengajar di UNAIR tidak tahu siapa mahasiswanya yang Muslim, Kristen, Katolik. Ritmenya beda dari yang di Flores. Jatah mengajar Glinka juga banyak karena dosen yang lain muda-muda, belum lulus, dan kebanyakan bukan dari antropologi. Ia bersyukur Jurusan Antropologi perlahan-lahan berkembang.
Advertisement
Enggan disebut sebagai 'Bapak Antropologi'
Glinka ikut mengembangkan Ilmu Antropologi di Indonesia. Ia melihat perkembangannya baik sekali. Hanya saja ia agak kecewa, para kader antropologi juga disibukkan dengan hal-hal birokrasi manajemen. Ini memengaruhi waktu penelitian yang sedang dikerjakan. Waktu untuk penelitiannya menjadi tersita. Â
Walaupun puluhan tahun menekuni antropologi, Glinka masih enggan disebut sebagai Bapak Antropologi. Menurutnya, Adi Sukadana lah yang pantas disebut demikian.Â
"Bukan saya. Karena dia perintisnya (membuka Jurusan Antropologi). Dia juga mengumpulkan buku dan benda antropologi lain dan dijadikan museum. Tapi di antara kami berdua sudah ada persetujuan. Saya di bidang bio-antropology (antropologi ragawi) dan Adi bagian prasejarah atau Antropologi Budaya. Kami berjuang bersama," ungkap Glinka.
Pada tahun 2012, Glinka minta pensiun karena fisik yang sudah tidak kuat untuk naik-turun tangga. Walaupun begitu, Glinka masih sering dimintai konsutasi, sharing keilmuan, penguji eksternal dalam ujian doktor, dan seminar. Sebelum pensiun, Glinka menyampaikan ke Dekan dan Rektor untuk melakukan peremajaan di Jurusan Antropologi.Â
"Karena orang yang mau menggantikan saya ini perlu sepuluh tahun, perlu doktoral, spesialisasi. Itu yang saya rasa kurang. Saya berharap yang masih bertahan menekuni antropologi dan hendaknya tetap bertahan dan berkembang. Saya optimis Antropologi UNAIR akan segera melahirkan profesor baru," harap Glinka.