Sukses

Perintis Antropologi Ragawi di Indonesia, Habil Josef Glinka Paham 9 Bahasa

Habil Josef Glinka, perintis Antropologi Ragawi di Indonesia mengerti sembilan bahasa, tapi ada empat bahasa yang sangat ia kuasai.

Liputan6.com, Surabaya, Jawa Timur Habil Josef Glinka, perintis antropologi ragawi di Indonesia ternyata mengerti sembilan bahasa. Walaupun begitu, hanya ada empat bahasa yang ia kuasai. Bahasa Jerman dan Polandia ia peroleh sejak kecil. Ini karena ibunya asli Jerman dan ayah asli Polandia. 

Bagi pria kelahiran Chorzow, Polandia pada 7 Juni 1932, yang akrab disapa Pater Glinka, bahasa Jerman dan Polandia adalah bahasa ibu. Bahasa lain yang ia kuasai adalah bahasa Indonesia, Inggris, Ibrani, Yunani, dan Prancis. Bahasa Prancis pernah sempat hilang dari ingatannya.  Anehnya, saat ia berada di Prancis dalam waktu 2-3 hari, ia ingat dan mengerti lagi. 

"Menguasai banyak bahasa memang membahagiakan karena memungkinkan banyak pengetahuan bisa dipelajari. Jadi di rak (buku miliknya) terdapat buku-buku dalam sembilan bahasa," ujar Glinka, dikutip dari laman Universitas Airlangga (UNAIR), Minggu (26/8/2018). 

Nama Glinka termasuk populer, khususnya di kalangan akademisi, peneliti, dan dosen bidang Ilmu Antropologi di Indonesia. Ia adalah Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR, Surabaya, Jawa Timur. Glinka mengajar di UNAIR dari 1985 sampai 2012. Selama mengajar di UNAIR, Glinka mengajar ilmu antropologi ragawi. Antropologi ragawi adalah bagian ilmu Antropologi yang memusatkan perhatian pada manusia sebagai organisme biologis. 

Lika-liku perjuangan mengajar di UNAIR pun tidak mudah bagi Glinka. Jurusan Antropologi baru resmi dibuka pada tahun 1985. Jadwal mengajar peraih gelar profesor dari Uniwersytet Jagiellonski, Krakow tahun 1977 ini mencakup 14 jam per minggu di awal mengajar. Jam mengajar Glinka juga banyak dibandingkan Adi Sukadana, perintis Jurusan Antropologi UNAIR. Ini karena dosen yang lain muda-muda, belum lulus, dan kebanyakan bukan dari antropologi. Kian lama, ia bersyukur Jurusan Antropologi UNAIR perlahan-lahan berkembang.

 

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

Simak video menarik berikut ini:

2 dari 3 halaman

Punya ratusan buku

Glinka, lulusan Universitas Mickiewicz, Poznan, Polandia punya ratusan buku Ilmu Antropologi di rumahnya. Ia tinggal di Surabaya sejak Juli 1985 sampai saat ini. Artinya, ia sudah lebih dari 30 tahun tinggal di Surabaya. Di usianya yang sudah 86 tahun, Glinka sudah menulis surat wasiat.

Isi surat wasiat itu terutama terkait buku-buku antropologi miliknya. Semua buku akan ia serahkan ke UNAIR, sedangkan buku-buka lain (yang tidak berkaitan dengan Antropologi) terserah untuk diberikan ke siapa. Khusus koleksi buku antropologi, baik yang bertema ragawi dan budaya, diletakkan di area khusus pada rak bukunya. 

Buku-buku lain koleksi Glinka berupa majalah, ensiklopedi, dan buku-buku teologi. Di antara buku-buku itu, ada yang usianya sudah puluhan tahun, tapi kebanyakan berbahasa Jerman, Rusia, Inggris, dan Belanda. Ada juga buku tentang anatomi. Sewaktu membimbing mahasiswa kandidat doktor, banyak di antara mereka membaca buku-buku dari rak Glinka.

3 dari 3 halaman

Tak berniat pulang ke Polandia

Tiga puluh tahun menghabiskan hidup di Surabaya membuat Glinka mencintai kota itu. Di Surabaya, ia mendapat kebanggaan. Dedikasi mengabdi di UNAIR sukses melahirkan 13 doktor, baik Glinka sebagai promotor dan co-promotor.  Ia juga menulis otobiografi berbahasa Polandia. 

"Ketika kawan-kawan (rekan-rekan pengajar) saya membaca, mereka takjub dan merasa masih seperti `anak kecil`. Itu karena mereka baru mencetak 2–3 doktor, sedangkan saya sudah 13 doktor," ucap Glinka.

Glinka pun tidak berniat pulang ke Polandia. Di Polandia, ia tidak mengenal siapa pun. Teman-teman seusianya sudah banyak yang meninggal. Itu juga dikarenakan, tempat tinggal Glinka di sana termasuk daerah industri pertambangan. Teman-temannya bekerja keras sehingga usia 40-50 tahun sudah renta, sakit. 

"Di kampung saya paling tinggal dua atau tiga teman tersisa, sedangkan di sini banyak," lanjut Glinka.

Meski sudah pensiun pada tahun 2012, Glinka masih sering dimintai konsutasi, sharing keilmuan, penguji eksternal dalam ujian doktor, dan seminar. Ia minta pensiun karena fisik yang sudah tidak kuat untuk naik-turun tangga.