Sukses

Titipkan Buah Hati di Taman Pengasuhan Anak, Emma Lebih Semangat Bekerja

Selama menitipkan anak di Taman Pengasuhan Anak (TPA), Emma bekerja lebih efektif, pekerjaan cepat diselesaikan.

Liputan6.com, Jakarta Hanif terlihat tidur nyenyak di dalam ruang tidur Taman Pengasuhan Anak (TPA) Serama sambil memeluk guling. Padahal, di dalam ruangan yang sama, teman-teman Hanif, yang juga balita, asyik bermain, bercanda, dan menonton film. Suasana ruangan yang riuh tak membuat Hanif terbangun. Ruangan ber-AC mungkin tetap membuat Hanif terlelap. Emma, sang ibu menatap wajah anak ketiganya dengan senyuman. Ia juga heran, kenapa anaknya tetap nyaman tidur di kala suasana ruangan cukup riuh.

Emma Rahmadhanti (37) menitipkan anak ketiganya di TPA kantor tempatnya bekerja, Kementerian Kesehatan RI, Kuningan, Jakarta. Hanif Abbad Ramdani yang berusia 20 bulan dititipkan ke Taman Pengasuhan Anak (TPA) Serama yang berada di Kementerian Kesehatan sejak 2016. Selama menitipkan anaknya, Emma merasakan produktivitas kerjanya makin maksimal dan tidak stres.

Baca Juga: Tempat Penitipan Anak, Andalan Ibu Pekerja Urban

“Tuntutan kerja memang ada, tapi tidak sampai stres banget. Lagi pula saya enggak cemas karena anak juga dititipkan di TPA. Ada Bunda-bunda (pengasuh di TPA) yang mengasuhnya. Yang paling penting, kerjaan saya (berjalan) oke-oke saja. Justru saya ingin pekerjaan cepat selesai. Pengen cepat kelarlah,” tutur Emma, staf bagian Organisasi dan Tata Laksana Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Setditjen Farmalkes) Kementerian Kesehatan saat berbincang dengan Liputan6.com pada Kamis, 9 Agustus 2018 siang.

Emma juga berpikir, kalau ditanya pengaruh tempat penitipan anak (TPA) di kantor terhadap kenaikan jabatan mungkin atasannya yang hanya bisa menilainya. Sejauh ini yang dirasakan, TPA sangat membantu Emma kerja. Ia justru ingin pekerjaan lebih cepat selesai dan segera jemput anak (di TPA), lalu pulang ke rumah.

Suasana di luar TPA saat itu terbilang panas karena matahari tengah bersinar terik-teriknya. Namun, perbincangan santai dengan Emma di salah satu sudut TPA Serama tetap nyaman karena dilengkapi pendingin udara (AC).

Baca Juga: Kehadiran Tempat Penitipan Anak, Peluang Ibu Pekerja Naik Jabatan Terbuka Lebar

Ia menceritakan, betapa dirinya berusaha menyelesaikan pekerjaan sebelum waktu pulang tiba yakni pukul 16.00 WIB. Walau ingin cepat menyelesaikan pekerjaan, Emma tidak kehilangan fokus dan target kerja.

“Semua baik-baik saja. Target kerja tetap tercapai. Enggak ada masalah soal target. Dalam hal ini juga, saya harus optimis mengatur waktu kerja. Kerjaan pengen cepat-cepat kelar itu agar saya enggak pulang malam. Saya masih punya dua anak lagi. Jadi, ya pengin cepat pulang,” Emma menambahkan.

 

 

Artikel ini merupakan hasil liputan khusus Jurnalis Liputan6.com untuk beasiswa "Kesetaraan Gender di Dunia Kerja" kerjasama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia - Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) periode Juli - September 2018. Topik liputan mengangkat "Efektivitas Tempat Penitipan Anak di Kantor" dengan angle "Pengaruh Tempat Penitipan Anak di Kantor Terhadap Jenjang Karier."

 

 

Simak video menarik berikut ini:

2 dari 5 halaman

Lebih tenang bekerja

Sejak memutuskan menitipkan anak ketiga di TPA Serama, Emma merasa ada perbedaan. Ia lebih tenang bekerja dan tidak terlalu memikirkan segala urusan anak.

Hal ini berbeda dengan ketika dulu mengandalkan asisten rumah tangga untuk mengasuh anak pertama dan kedua. Dulu, sebelum berangkat ke kantor, ia harus memberi arahan pada asisten rumah tangga tentang kebutuhan anak-anaknya selama di rumah seharian.

“Dulu (waktu ada asisten rumah tangga) saya harus ngomong ini-itu sama Si Mbak soal kebutuhan anak-anak. Takut saja kan selama saya kerja, kebutuhan anak-anak kurang. Kepikiran itu saja, meski ada orangtua saya juga yang dulu jagain,”  kata wanita yang tinggal di bilangan Utan Kayu, Jakarta Timur.

Keputusan menitipkan anak ketiga ke TPA Serama berdasarkan beberapa pertimbangan. Salah satunya pengalaman tak menyenangkan salah satu kerabatnya membuat Emma yakin menitipkan ke TPA. Keponakan Emma itu mengalami kekerasan dari pengasuhnya. Kejadian tersebut terjadi ketika orangtua pergi bekerja seharian. Setelah mendengar kejadian itu, Emma mengaku cemas bila anak-anaknya ditinggalkan bersama asisten rumah tangga.

“Jujur, saya agak deg-degan mendengarnya. Memang sih, waktu itu kedua anak saya dijaga sama orangtua. Sekarang enggak bisa seperti itu lagi. Pas mereka besar, yang satu masuk SD dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) enggak memanfaatkan jasa asisten rumah tangga lagi (tahun 2014),” cerita Emma.

3 dari 5 halaman

Keputusan titipkan anak di TPA

Meski tinggal serumah dengan orangtua, Emma mengungkapkan, mereka memiliki banyak kegiatan di luar rumah. Saat anak-anak pulang sekolah, orangtua juga pulang. Kini, anak-anak Emma berusia 8 tahun dan 7 tahun, yang sudah duduk di bangku SD.

Asisten rumah tangga yang bertugas sekarang hanya bersifat pergi-pulang, tidak menginap. Sejak kehamilan anak ketiga, Emma berpikir bagaimana anak ketiganya dijaga baik, tanpa mengandalkan asisten rumah tangga. Jika harus orangtuanya yang menjaga anak ketiganya, ada rasa beban dan merepotkan orangtua.

Emma mencari alternatif lain, yakni TPA. Pada awalnya, ia mencari TPA yang berada di dekat rumahnya, tapi tidak membuahkan hasil. Kemudian ada TPA milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jalan Pramuka.

Sayangnya, TPA di area kantor BNPB hanya bisa menerima bayi usia 8 bulan, bukan 3-4 bulan. Padahal, Emma bermaksud menitipkan anaknya usai cuti melahirkan tiga bulan. Ia mencoba pilihan terakhir dengan melirik TPA Serama di tempat kerjanya. Suasana TPA Serama, yang berdiri 2011 waktu itu belum terlalu ramai dan populer bagi Emma dan staf-staf di Kementerian Kesehatan.

“Saya tanya-tanya saja dulu sama Bunda-bunda (ibu pekerja) yang titipkan anak di TPA Serama. Kata mereka, enak kok. Dulu, TPA Serama masih berada di lantai 4, akhirnya pindah ke bawah (lantai 1). Manajemen TPA juga sudah lebih bagus. Saya diskusi sama suami, ‘Kayaknya kita taruh (titipkan anak) di daycare aja deh.’ Toh, saya juga kerja di sini,” Emma menambahkan.

4 dari 5 halaman

Momen krusial

Emma mengajak Liputan6.com melihat anaknya di ruang infant. Harapan bertemu si kecil Hanif memang tercapai, tapi ia sedang asyik tidur siang.

Tatkala melihat wajah Hanif yang tidur nyenyak, terbersit perjuangan yang dialami Si Kecil untuk sampai ke TPA. Ada beberapa kendala yang dialami Emma. Ia kasihan melihat anaknya harus bangun pagi. Pikiran mungkin anak masih mengantuk dan akan lelah.

“Nanti sakit atau gimana. Takut capek di jalan juga. Pagi-pagi saya juga repot di rumah. Nyiapin perlengkapan buat dibawa ke TPA. Saya masuk kerja pukul 07.30 WIB, pertimbangan naik motor biar cepat enggak mungkin. Kasihan anaknya. Jadi, saya naik mobil pribadi, diantar suami. Jam 06.10 WIB sudah berangkat dari rumah, ngantar kakak-kakaknya juga ke sekolah,” ujar Emma.

Setelah bangun pagi, Emma memandikan anaknya. Ketika dibawa ke TPA, Si Kecil sudah  rapi. Kerepotan di pagi hari tidak membuat Emma putus asa memandikan anak di rumah. Sebuah pekerjaan tambahan bila anak harus dimandikan di TPA. Anak harus mandi saat dititipkan termasuk kewajiban yang diterapkan oleh pengelola TPA Serama. Artinya, bila ibu pekerja tidak memandikan anak di rumah, anak tidak akan mandi. Baru sore hari dimandikan pengasuh TPA.

Berkat adanya kebijakan memandikan anak di pagi hari, hubungan antara Emma dan Hanif lebih dekat. Setiap hari kerja, Emma berangkat pagi dari rumah ke kantor untuk menghindari kemacetan. Terkadang Emma terjebak macet. Ini membuat Hanif bisa tidur. Saat berangkat dan pulang di mobil, ia bisa menyusu langsung dan tidur. Kebiasaan harian itu mampu terbangun. Anak jadi terbiasa. Kebutuhan ASI botol selama Emma kerja juga tercukupi.

Dalam sehari, Hanif minum 4-5 botol ASI perah sampai usianya 6 bulan. ASI eksklusif tercukupi. Hingga sekarang, Emma tetap sedia ASI botol untuk anaknya yang dititipkan di TPA. Ia juga memerah ASI bersama para ibu pekerja lain di ruang menyusui.

Momen yang paling krusial bagi Emma adalah saat anak dititipkan di TPA pertama kali. Anak yang biasa menyusu dan diasuh oleh Emma itu pernah tidak mau langsung menyusu pakai botol. Emma yang tengah kerja pun sampai dipanggil dan diberitahu pengasuh di TPA, anaknya tidak mau minum ASI lewat botol. Pekerjaan sempat terganggu karena harus menyusui anaknya.

“Rata-rata problem anak pertama kali dititipkan itu enggak mau digendong dan menyusu pakai botol. Saya harus sering juga menengok anak pas jam istirahat. Lama-lama sudah enggak rewel lagi. Dia sudah lebih tenang untuk ditinggal. Namanya juga proses adaptasi ya,” ungkap Emma.

5 dari 5 halaman

Fasilitas terjamin

Salah satu alasan Emma untuk menitipkan Hanif di TPA Serama yakni didorong fasilitas dan pelayanan yang tersedia. Ada ruang menyusui sekaligus ruang ASI. Ibu pekerja jadi lebih nyaman memerah ASI. Ketika memasuki TPA Serama, ruang menyusui dan ASI cukup luas. Segala perlengkapan, seperti pompa ASI, penghangat, dan kulkas untuk menyimpan ASI tersedia. Ibu pun tak perlu cemas jika tak punya pompa ASI. Untuk botol ASI, para ibu membawanya masing-masing.

“Di sini bisa memerah ASI, tapi punya stok botol ASI dari rumah. Saya bawa botol ASI sendiri. Ada penghangat juga,” ujar Emma.

Tak hanya itu saja, pelayanan kesehatan ikut dijamin baik di TPA Serama. Pemeriksaan kesehatan dilakukan di poliklinik kesehatan. TPA Serama bekerja sama dengan puskesmas. Imunisasi wajib anak, seperti campak dan polio sudah termasuk layanan TPA Serama. Orangtua tidak perlu bersusah payah ke posyandu atau puskesmas dekat rumah untuk imunisasi anak. Seluruh jadwal imunisasi sesuai usia anak terpantau.

Tumbuh kembang anak, berat, tinggi badan, dan kemampuan fisik, mental, dan otak anak ikut dipantau. Permasalahan anak, misal, anak sudah 2 tahun, tapi belum lancar mengucapkan kata-kata akan diperiksa lebih rinci. Berbagai kegiatan dan seminar parenting untuk mengedukasi para ibu pekerja dan pengasuh TPA pun ada. Contohnya, seminar pijat bayi. Pengasuh TPA ikut serta untuk pijat bayi supaya mereka tahu teknik pijat bayi.

Sambil memandang Hanif yang sedang tidur, Emma menyunggingkan senyum. Ruang tidur anak-anak dilengkapi AC membuat siapapun nyenyak tidur. Fasilitas di TPA Serama sangat mendukung ibu pekerja. Ruang seni, kamar mandi, kamar tidur, dan ruang bermain menjadi tempat nyaman untuk anak-anak saling bergaul satu sama lain. Baik Emma dan Maria, TPA menjadi penyelamat hidup.

“Yang pasti saya senang menitipkan anak di sini. Segala fasilitas dan pelayanan terjamin. Saya tetap bisa bekerja dengan semangat sekaligus mengurus anak,” begitulah kesan mendalam Emma.