Liputan6.com, Jakarta Emma Rahmadhanti (37) bercerita soal anak ketiganya yang dititipkan di Taman Pengasuhan Anak (TPA) Serama—sebutan Tempat Penitipan Anak di Kementerian Kesehatan RI, Kuningan, Jakarta. Kala bercerita, ekspresi wajahnya terlihat bahagia. Matanya berbinar, penuh senyum, dan tawa. Ibu dari tiga anak itu tak henti-hentinya mengatakan, ia sangat terbantu dengan adanya TPA.
Baca Juga
Advertisement
Setelah mengantar Hanif Abbad Ramdani yang berusia 20 bulan ke TPA, Emma bisa tepat waktu masuk ke ruang kerja dan bekerja pukul 07.30 WIB. Saat jam istirahat tiba, staf bagian Organisasi dan Tata Laksana Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Setditjen Farmalkes) Kementerian Kesehatan ini bisa menengok anaknya dan melihat apa saja yang dilakukan sang anak.
Begitu dengan Maria Regina yang menitipkan anak pertamanya di tempat penitipan anak di kantor tempatnya bekerja, PT Unilever Indonesia, Tbk, Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan. Keputusan menitipkan Pandum (3) seiring pengunduran pengasuh (baby sitter) dianggap tepat.
Beberapa hari pertama menitipkan anak, Maria cukup sering mengunjungi TPA untuk memastikan kondisi sang buah hati baik-baik saja sekaligus menyaksikan keceriaan dan kegiatannya. Ia kadang bertemu anaknya saat istirahat makan siang.
Baca terkait: Kehadiran Tempat Penitipan Anak, Peluang Ibu Pekerja Naik Jabatan Terbuka Lebar
Emma dan Maria berkisah, kebutuhan TPA bagi ibu yang bekerja di kota besar, terutama Jakarta, dinilai bermanfaat. Selain jarak rumah jauh dan tidak punya pengasuh di rumah, ada juga karyawan yang menitipkan anaknya karena tidak mau membebani orangtua atau mertua. Kepala Sekolah TPA Serama, Ana Nasirudin, mengatakan ada staf yang tinggal di rumah orangtua atau mertua, tapi karena tidak mau merepotkan akhirnya menitipkan anak di TPA kantor jadi pilihan.
Sayang, belum semua perusahaan di Jakarta membangun TPA untuk karyawan. Padahal di 2015, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah mengeluarkan aturan terkait penyediaan sarana TPA di kantor. Aturan tercantum pada Bab III terkait Peningkatan Produktivitas Kerja Pasal 3 ayat 1 dan 2.
Baca terkait: Tempat Penitipan Anak, Andalan Ibu Pekerja Urban
Kehadiran TPA rupanya tergantung dana dari perusahaan yang bersangkutan. Untuk membangun TPA dengan sarana dan fasilitas pendukung butuh dana besar. Persoalan perizinan pun menjadi pertimbangan yang perlu dipikirkan.
“Harus urus perizinan ke pemda (pemerintah daerah). Secara administratif, keberadaan TPA mengikuti aturan yang ada (dari pemda). Masalahnya, antar instansi belum ada saling kerja sama dan koordinasi. Kami berusaha urus izin TPA ke kantor Kelurahan Kuningan Timur. Ya, memenuhi semua dokumen yang diminta,” jelas Wakil Ketua Dharma Wanita Persatuan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan bidang Pendidikan Kementerian Kesehatan, Andriza Usman, saat berbincang dengan Health Liputan6.com.
Simak video menarik berikut ini:
Perizinan dan pertimbangan jarak
Perizinan saat membangun TPA Serama sempat ditunda oleh pihak kelurahan. Alasannya, lokasi TPA yang didirikan masuk zona merah. Zona merah berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta, yang artinya area terlarang untuk kegiatan komersial.
“Kebutuhan TPA buat karyawan dan itu tidak komersial. Pada awal berdirinya memang ditujukan khusus buat karyawan internal. Kalau ada (anak) yang dititipkan dari luar itu permintaan dari karyawan perusahaan lain. Pada waktu awal berdiri, kami memang terima dari luar,” Andriza menambahkan.
Untuk biaya operasi sehari-hari, tidak semua bersumber dari Kementerian Kesehatan. Contohnya, pencucian selimut dan seprai menggunakan iuran TPA. Iuran TPA pada akhirnya ‘dikembalikan ke anak’, dari anak, untuk anak. Selain anggaran dan perizinan, permasalahan lain terkait pandangan pengelola perusahaan terhadap TPA. Keberadaan TPA di Jakarta yang belum banyak tersedia di perusahaan swasta maupun kementerian dikarenakan TPA belum menjadi suatu kebutuhan utama.
Ada pertimbangan juga bagi perusahaan sebelum membuat TPA. Misal, jarak yang harus ditempuh karyawan dari rumah ke kantor. Apakah antusias karyawan menggunakan TPA dapat terwujud, yang mana karyawan harus membawa anak untuk dititipkan.
“Bagaimana soal keamanan di jalan, bawa anak pakai apa. Masa iya, mau macet-macetan atau anak harus bangun pagi-pagi. Apakah ibu juga bersedia seperti itu? Harus dipikirkan memang. Saya pikir, day care di sini (Jakarta) belum menjadi suatu kebutuhan (utama),” ungkap Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Budi Wahyuni.
Advertisement
Tidak ada laporan keluhan
Meski ketersediaan TPA kantor di Jakarta belum menjamur, tidak ada laporan keluhan dari ibu pekerja yang kantornya belum menyediakan sarana itu.
Saat ini ada beberapa perusahaan dan kementerian yang sudah punya TPA. Beberapa di antaranya Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Tenaga Kerja, PT Unilever, dan Plaza Bank Mandiri.
Faktor lain, penyebab belum banyak kantor menyediakan TPA karena tergantung kepedulian (awareness) atasan atau bos perusahaan. Mereka belum sepenuhnya memahami manfaat TPA.
Perusahaan belum melihat TPA menjadi sesuatu yang darurat (urgent). Padahal, TPA berdampak baik pada psikologis hubungan anak dan ibu.
“Apalagi ibu pekerja di pabrik. Kalau anak tidak dititipkan di TPA, anak bisa tidak ada yang jaga. Ini harus jadi pertimbangan perusahaan, apakah perusahaan ingin memberikan kenyamanan kepada pekerja. Kebutuhan kenyamanan untuk ibu pekerja dan pemahaman parenting juga menjadi penting,” Asisten Deputi Bidang Infrastruktur dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susianawati menambahkan.