Liputan6.com, Jakarta Menjadi seorang caregiver bagi ibu yang mengalami demensia bukanlah hal yang mudah untuk Liana Carolin Sibuea. Perempuan berumur 34 tahun ini harus merawat ibunya yang menderita demensia vaskular dan sudah berumur 70 tahun.
Ketika ditemui Health Liputan6.com beberapa waktu lalu, sang ibu, Marintan Siahaan sebelumnya tidak diketahui terkena demensia. Liana hanya mengetahui bahwa ibunya kini sering lupa seperti yang kerap dialami orang tua pada umumnya. Namun, di 2016, Marintan yang pensiunan guru itu terkena serangan stroke dan harus dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD).
Baca Juga
Liana menceritakan, sebelum terkena stroke, Marintan lebih dulu dibawa ke rumah sakit karena diare. Namun, keesokan harinya, ketika dibangunkan dari tidur, Marintan tampak tak biasa.
Advertisement
"Tidak ada eye contact, enggak ada komunikasi. Habis itu, buang airnya juga berceceran di lantai," ujar Liana menceritakan kejadian tersebut. Ditulis Senin (1/10/2018).
Lebih lanjut Liana menceritakan, Marintan tak merespons ketika diminta melakukan suatu hal. Dia hanya mematung saat disuruh ganti baju, dan hanya mengaduk-aduk minumannya saat diberikan minum.
Dokter menyatakan bahwa sang ibu terkena stroke. Pada saat pemeriksaan, Marintan (yang juga menderita diabetes), mengalami kenaikan kolesterol, gula darah, hingga hipertensi yang nyaris mencapai 200.
Di hari pertamanya, Marintan mulai lupa akan wajah orang lain. Bahkan, dia juga tak mengenali suami dan saudara-saudaranya. Ketika sudah kembali ke rumah pada hari keempat, Liana mulai merasa ada yang janggal dengan pikun yang dialami ibunya.
"Saya sudah mulai (merasa) ada yang aneh. Mama saya pikunnya sudah enggak masuk akal," kata warga Matraman, Jakarta Timur ini. Liana pun berkonsultasi dengan psikiater yang memberitahunya bahwa sang ibu mengalami demensia.Â
Â
Simak juga video menarik berikut ini:Â
Â
Merawat Orang dengan Demensia Bukan Hal Mudah
Ketika mengetahui hal itu, Liana segera mencari dukungan dari banyak tempat. Salah satunya dari Yayasan Alzheimer Indonesia (ALZI). Dari situlah dia mulai belajar bagaimana cara menghadapi ibu yang menderita demensia. Meski mendapat bekal ilmu, bukan berarti Liana tanpa kesulitan dalam merawat sang ibu.
"Itu pekerjaan 24 jam. Ini sih mama saya keadaannya sudah lumayan. Secara fisik dia sudah tidak bisa banyak bergerak. Dulu sebelum kejadian stroke yang kedua, dia masih bisa jalan sendiri, agak susah dibilangin," tutur Liana.
Dia menceritakan, sang ibu kerap mengutak-atik kompor dan hampir membuat rumah mereka nyaris kebakaran. Selain itu, salah satu tugas Liana sebagai caregiver adalah membantu Marintan untuk mandi. Menurutnya, jika tidak dibantu, Marintan hanya akan duduk diam sambil memperhatikan air dan gayung. Selain itu, dia juga harus mengganti popok sang ibu.
Pekerjaan ini jelas menjadi tanggung jawab Liana dan sang adik. Ayahnya tidak bisa berbuat banyak. Terutama, karena dia mengalami sakit jantung. Sementara, satu adiknya lagi bekerja di Medan.
"Jadi kita berdua yang ganti-gantian lah. Jadi kalau saya sudah enggak tahan, saya keluar sebentar cari hiburan. Nonton, dua jam kemudian pulang," kata Liana.
Menurutnya, menghadapi hal semacam ini bukanlah hal yang mudah. Dia merasakan lelah baik fisik maupun mental. Ini bahkan membuat Liana memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dari sebuah sekolah di wilayah Kelapa Gading, Jakarta. Hal ini dia lakukan karena melihat kondisi sang ibu yang sudah benar-benar turun.
Â
Â
Advertisement
Seperti Puzzle
Liana mengatakan, untuk membuat sang ibu tetap aktif, beberapa kali Marintan dibawa keluar rumah untuk bertemu dengan orang-orang. Sekalipun, dia tidak tahu apa yang menyenangkan bagi ibunya.
Dia pernah membawanya ke pertemuan pecinta anjing, selain itu, dia juga membawa sang ibu ke pertemuan ALZI. Dia juga membawa sang ibu untuk berjemur di luar rumah dan bertemu dengan tetangga.
"Paling di rumah nonton TV, dengerin lagu-lagu gereja, suruh dia nyanyi. Seperti itu saja sih," ujar Liana.
Perempuan kelahiran Jakarta itu mengatakan, sang ibu masih hafal beberapa lagu rohani berbahasa Batak. Menurutnya, ingatannya akan masa lalu lebih kuat ketimbang ingatannya akan masa sekarang.
"Kayak puzzle otaknya. Kita enggak pernah tahu mana yang keluar duluan, mana yang dia ingat," ujarnya.
Marintan juga terkadang tidak ingat akan suaminya sendiri. Dia sering bertanya tentang "Orang tak dikenal" yang ada di depannya saat makan. Dia juga sering tertukar wajah Liana dan adiknya. Namun, dia paling hafal wajah anaknya yang paling kecil.
Â
Â
Mempersiapkan Diri dan Berserah pada Tuhan
Menurut Liana, dahulu hubungannya dengan sang ibu kurang harmonis. Mereka sering bertengkar. Ibunya pun memanggil dirinya dengan "Si Monyong." Namun, itulah yang menjadi pengingat bagi sang ibu akan Liana.
"Mungkin secara nama dia enggak ingat saya. Tapi dari suara, keberadaan, dia masih ingat," katanya.
Setiap harinya, ingatan Marintan berubah. Namun, pada hari peresmian pusat pelayanan terpadu Demensia Alzheimer di Unika Atma Jaya, Marintan mengingat sedikit tentang lagu Indonesia Raya.
Saat ini, Liana hanya bisa mengandalkan Tuhan. Dia tidak ingin egois dengan meminta sang ibu panjang umur. Dia hanya berserah diri dan meminta yang terbaik dari Tuhan.
"Setiap hari saya ingatkan diri saya sendiri, harus mempersiapkan diri untuk dia pergi. Saya melihat dia sehari-hari sakit, kasihan," ujar Liana.
Advertisement