Liputan6.com, Bandung Pada umumnya anak yang pemberani diasumsikan sebagai anak yang mau tidur sendiri dalam keadaan lampu dimatikan, atau anak yang bersedia maju ke depan kelas dan menampilkan kemampuannya. Sebagian lain ada yang beranggapan, anak pemberani adalah anak yang tidak malu berkenalan dengan orang asing.
Menurut psikolog anak yang merupakan Co-Founder Children Cafe Nuri Indira Dewi, sebenarnya perilaku tersebut dalam bidang komunikasi dan psikologi disebut asertivitas. Nuri menjelaskan asertif adalah perilaku untuk menunjukkan atau menyampaikan perasaan atau pemikiran dengan jujur, tanpa menyinggung perasaan dan hak orang lain.
Baca Juga
"Nah, mengapa kemampuan untuk berperilaku asertif sebaiknya dikembangkan pada anak-anak? Paling tidak ada tiga alasannya," kata Nuri kepada Health-Liputan6.com, Bandung, Minggu, 7 Oktober 2018.
Advertisement
Nuri mengatakan perilaku asertif adalah bagian dari keterampilan sosial. Orang yang asertif jelas Nuri, merasa nyaman saat mengungkapkan kebutuhannya dan membuat orang lain tetap merasa nyaman.
Dengan sendirinya, tutur Nuri, mereka menjadi individu yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan karena jujur, terbuka dan selaras antara pikiran dan ucapan. Orang-orang yang asertif juga pada umumnya memiliki kecerdasan emosional yang baik.
"Perilaku asertif melindungi hak-hak individual tanpa mengganggu hak orang lain. Banyak contohnya, misalnya berani bilang tidak pada kasus pelecehan atau kekerasan atau bullying pada anak," ujar Nuri.
Nuri menambahkan di lain pihak, anak juga mampu menunjukkan diri, pendapat, dan pemikirannya sebagai individu yang unik atau spesial tanpa menghina, mengancam atau merendahkan orang lain. Contohnya kata dia, saat anak mengatakan lebih menyukai suatu mainan tertentu di sekolah tanpa mengatakan mainan temannya jelek.
Saksikan juga video berikut ini:
Manfaat memupuk perilaku asertif pada anak
Perilaku asertif sejak dini sebut Nuri, dapat membuat anak tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih percaya diri, memiliki konsep diri, self-esteem dan hubungan sosial yang berkembang baik. Pada orang dewasa saja, perilaku asertif tidak mudah dilakukan.
"Ada banyak pertimbangan saat kita ingin mengungkapkan pendapat atau keinginan kita, sehingga terkadang kita memilih untuk diam dan menerima. Sebaliknya, ada pula sebagian dari kita yang cenderung agresif saat menyampaikan sesuatu," jelas Nuri.
Agar didengar dan dipatuhi, biasanya orang dewasa kerap menggunakan kata-kata yang mengancam, merendahkan atau memaksa. Jelas bahwa berperilaku non-asertif atau agresif bukan pilihan terbaik saat berkomunikasi dengan orang lain, karena masih ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan contoh kemampuan berperilaku asertif pada anak. Salah satunya melalui perilaku sehari-hari yang dicontohkan orangtua atau orng dewasa di sekelilingnya.
"Misalnya mengungkapkan keberatan dengan baik disertai alasan yang jelas. Contohnya saat anak tidak mau merapikan tempat tidur, sampaikan apa yang kita rasakan atau pikirkan, lalu berikan alasan yang tidak menyinggung anak," tutur Nuri.
Anak juga perlu diberi pemahaman oleh orang untuk menyadari memiliki hak pribadi untuk berpikir, berpendapat, memilih dan sebagainya. Tunjukkan pengertian dan penerimaan dari orang tua, pada setiap kelebihan dan kekurangan yang anak miliki.
Seaneh atau sekonyol apapun idenya bagi orangtua, tunjukkan sikap mendengarkan, memberi masukan atau pendapat. Buat anak merasa aman dan nyaman saat ia ingin mengungkapkan kebutuhan atau pendapatnya.
Pada saat berkomunikasi, orangtua harus menekankan pada apa yang menjadi alasan keberatan terhadap pendapat atau perilaku anak. Bukan “menyerang” anak sebagai pribadi.
"Misalnya saat anak kita mengganggu adiknya, fokuskan pada perilakunya tanpa menyebutnya nakal, bodoh, keras kepala, dan lain-lain. Dengan demikian anak paham bahwa kita bukannya benci atau tidak suka pada dirinya, melainkan berharap ia mengubah perilakunya," ungkap Nuri.
Sedangkan tahap awal pelatihan terhadap anak yang telah memiliki perilaku atau komunikasi asertif, yaitu dengan membiarkan anak untuk mencoba mengatasi konflik di lingkungan sosialnya secara mandiri. Tahap selanjutnya adalah orang tua mengamati cara berkomunikasi atau mengungkapkan pendapatnya.
Berikutnya, orang tua dapat mengintervensi saat ia tampak menahan diri, takut, non asertif atau sebaliknya terlalu dominan atau agresif. Dan terakhir, berikan apresiasi dan masukan pada upayanya berperilaku asertif.
Advertisement