Liputan6.com, Lombok, Nusa Tenggara Barat Sekolah darurat di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca gempa Lombok masih dalam kondisi yang tak nyaman.
Jumlah ruang kelas darurat di setiap sekolah yang terdampak gempa terdapat perbedaan. Ini tergantung bantuan dari pemerintah maupun dunia usaha, dan/atau bantuan masyarakat.
Advertisement
Baca Juga
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan peninjauan ke sekolah darurat di Lombok pada 28-30 September 2018. Hasil pengawasan menunjukkan, sekolah darurat ada yang berbentuk tenda atau terpal juga juga bangunan semi permanen.
Tenda atau bangunan yang terbatas di sekolah darurat membuat para siswa harus menggunakan ruang kelas darurat secara bergantian atau dua shift.
"Ya, karena antara ruangan sekolah darurat yang dibutuhkan dan yang tersedia tidak berimbang jumlahnya, apalagi untuk SMA/sederajat," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti sesuai keterangan rilis kepada Health Liputan6.com, ditulis Senin (8/10/2018).
Â
Â
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
Â
Simak video menarik berikut ini:
Jam belajar lebih pendek
Tak hanya ruangan sekolah darurat yang harus bergantian. Jam belajar pun lebih pendek. Di sekolah darurat, rata-rata jam belajar berkisar lima jam.
Jam belajar lebih pendek dipengaruhi keterbatasan ruang kelas yang ada dan penggunaan kelas yang saling bergantian.
“Jam sekolah yang pendek dan kondisi ruang sekolah darurat memang tidak senyaman kelas di sekolah-sekolah yang kondisinya normal," ujar Retno.
Oleh karena itu, KPAI mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama untuk tidak sekadar berkosentrasi pada pembangunan kelas darurat. Namun, perlu menyiapkan kurikulum khusus untuk sekolah darurat.
Â
Advertisement