Sukses

Awas, Benjolan Membesar di Tubuh Bisa jadi Tanda Kanker Sarkoma

Seringkali, benjolan misterius di tubuh dianggap remeh. Namun, apabila terjadi beberapa pertanda ini, bisa jadi hal itu menjadi awal kemunculan kanker sarkoma

Liputan6.com, Jakarta Sarkoma mungkin tidak begitu populer di Indonesia. Padahal jenis kanker ini merupakan jenis yang langka dan cukup sulit disembuhkan.

Kanker sarkoma sendiri merupakan jenis kanker yang berkembang di jaringan ikat seperti otot, lemak, tulang, tulang rawan, dan pembuluh darah. Dia bisa muncul di bagian tubuh manapun dan memiliki gejala yang nampaknya tidak berbahaya.

Menurut Ahli Bedah Ortopedi Parkway Hospital Singapura, Dr. Leon Foo, ada beberapa gejala yang sering dialami oleh penderita kanker sarkoma. Pada anggota gerak tubuh, gejala yang muncul antara lain: adanya benjolan yang tambah besar, warna kulit yang semakin gelap karena adanya pembuluh darah di sekitar benjolan.

"Ini berarti benjolan tersebut banyak sekali menarik suplai darah kita. Ini adalah tanda-tanda yang mengkhawatirkan," ujar dokter asal Singapura tersebut. Seringkali, benjolan awalnya tidak terasa sakit. Namun, hal tersebut tidak boleh diabaikan.

"Kalau sudah sakit berarti malah sudah parah," ujar di Jakarta ditulis Jumat (2/11/2018).

Apabila benjolan tersebut sudah meradang dan berdarah, berarti sarkoma mungkin sudah berada di tahap yang parah.

Selain itu, menurut Konsultan Senior Onkologi Medis Parkway Cancer Centre (PCC) Singapura, Dr. Richard Quek, gejala-gejala lain bisa menyerang bagian inti tubuh. Beberapa di antaranya adalah munculnya tumor sarkoma di tenggorokan yang menyebabkan berubahnya suara, atau tumbuh di rahim. 

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:

 

2 dari 2 halaman

Pemahaman Kanker Sarkoma di Asia Masih Kurang

Sayangnya, di Asia sendiri, pemahaman tentang kanker sarkoma masih sangat sedikit. Padahal, sebuah studi di Amerika Serikat memprediksi, lebih dari 13 ribu orang di negeri Paman Sam akan memiliki sarkoma jaringan lunak di 2018. Hal tersebut akan mengakibatkan sekitar lima ribu kematian.

"Dibandingkan dengan populasi barat, masih belum banyak pusat data nasional yang resmi di Asia. Sehingga data tentang prevalensi sarkoma dan bagaimana penyakit tersebut dikelola di wilayah ini masih terbatas," kata

Quek mengatakan, hal tersebut membuat diagnosis seringkali terlambat dan tidak akurat. Selain itu, penanganannya juga tidak tepat.

"Sudah saatnya kita menangani sarkoma denga lebih serius, dan ini bisa kita mulai dengan edukasi," tambah Quek yang mendirikan Singapore Sarcoma Consortium pada 2013 dan Asia Sarcoma Consortium pada 2015.