Sukses

Komnas Perempuan: Kekerasan Seksual Tak Sebatas Pemerkosaan dan Pelecehan

Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus mengatakan, saat ini kekerasan seksual bisa dilakukan dengan berbagai cara dan di mana saja. Salah satunya di media sosial.

Liputan6.com, Jakarta Guna melindungi perempuan dari diskriminasi dan kekerasan seksual seperti pemerkosaan, pelecehan, maupun pernikahan dini, dibutuhkan payung hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus beberapa waktu lalu.

"Kalau kita lihat kekerasan seksual di KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) itu terbatas sekali. Pemerkosaan, pelecehan, pencabulan, ternyata ini makin berkembang," ujar Magdalena ditemui Health Liputan6.com beberapa waktu lalu di Kantor Komnas HAM, Jakarta. Ditulis Minggu (25/11/2018).

Magdalena mencontohkan, salah satunya adalah kekerasan seksual yang dilakukan secara tidak langsung lewat media sosial. Hal ini mendesak adanya peraturan-peraturan baru yang lebih sesuai dengan kondisi saat ini.

"Dulu tidak ada Undang-Undang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Karena kita secara budaya kalau dalam rumah tangga tidak usah diumbar-lah, itu aib," kata Magdalena.

"Padahal, kekerasan dan pelanggaran HAM bisa terjadi di ranah publik dan ranah domestik," ujarnya.

Simak juga video menarik berikut ini:

2 dari 3 halaman

Pemerkosaan bukan hanya penis dan vagina

Magdalena mengatakan, saat ini fenomena kekerasan pada perempuan tidaklah sebatas yang dinyatakan dalam KUHP yang berlaku.

"Dalam KUHP, pemerkosaan apa artinya? Baru dikatakan pemerkosaan kalau terjadi penetrasi penis ke vagina. Padahal pemerkosaan bisa menggunakan alat. Misalnya sampai perempuan meninggal karena memasukkan kayu ke vagina. Ini kan juga kekerasan seksual," ujar perempuan yang juga pernah menulis buku berjudul Cinta Tanpa Batas tersebut.

"Kita mengharapkan ada payung hukum yang secara khusus membicarakan tentang kekerasan seksual. Di mana di dalamnya ada eksploitasi seksual, perbudakan seksual, ada perkawinan anak, seperti itu," kata Magdalena.

 

3 dari 3 halaman

Masih banyak peraturan diskriminatif

Selain itu, Magdalena juga mengatakan masih banyak peraturan-peraturan di daerah yang sifatnya masih mendiskriminasi perempuan.

"Kami baru bicara dengan Kemenag (Kementerian Agama), tahun 2018 saja ada lima sampai sepuluh Perda baru yang muncul (yang mendiskriminasi). Dia dibungkus dengan ketahanan keluarga. Ketika bicara tentang ini dia mulai mengatur bagaimana laki-laki dan perempuan," kata Magdalena menambahkan.

"Dengan bungkus ketertiban umum. Kalau seperti itu kan banyak kelompok rentan."

Seringkali peraturan-peraturan semacam ini juga dianggap meningkatkan adanya intoleransi terhadap kelompok-kelompok tertentu.