Sukses

Michelle Obama Blak-Blakan soal Sindrom Impostor yang Menghantuinya

Ternyata selama ini Michelle Obama menderita sindrom impostor. Secerdas apa pun dirinya, dia tetap merasa tak ada apa-apanya.

Liputan6.com, Jakarta Pada sebuah wawancara di sekolah khusus perempuan di London utara, Inggris, mantan ibu negara Amerika Serikat Michelle Obama mengakui dirinya menderita sindrom impostor. Kondisi itu menggambarkan perasaan ragu-ragu dan ketidakamanan.

"Perasaan itu tidak hilang. Perasaan bahwa kamu seharusnya tidak menganggapku serius," kata Michelle.

"Saya berbagi soal ini karena kita semua punya keraguan dalam kemampuan yang kita miliki," kata dia menambahkan seperti dikutip dari CBS News, Rabu (12/12/2018). 

Dalam buku memoarnya yang baru Becoming, Michelle Obama menulis tentang masa-masa tumbuh dewasa yang dihantui oleh keraguan diri sendiri. Walaupun orang lain menilai ia sukses, tapi Michelle masih merasa ada keraguan dalam dirinya.

Ketidakpercayaan bahwa sebenarnya ia mampu menyelesaikan dan meraih sesuatu.

 

2 dari 3 halaman

Sindrom Impostor

Istilah sindrom impostor pertama kali diciptakan psikolog Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes. Istilah itu termaktub dalam sebuah jurnal pada 1978. Saat itu orang-orang percaya bahwa sindrom impostor paling sering menghampiri kaum hawa.

"Meskipun prestasi akademik dan kinerja profesional yang luar biasa, wanita yang mengalami sindrom impostor tetap percaya, mereka sebenarnya tidak cerdas," kata Clance dan Imes.

Meskipun mereka meraih banyak prestasi, para wanita tersebut tetap meyakini dirinya tak ada apa-apanya.

 

3 dari 3 halaman

Bukan Gangguan Mental

Seiring waktu, penelitian lain menunjukkan, pria maupun wanita dapat mengalami sindrom impostor. Menurut jurnal yang diterbitkan di International Journal of Behavioral Science pada 2013, nyaris 70 persen orang mungkin mengalami sindrom impostor dalam hidup mereka.

Sindrom impostor tidak dianggap sebagai gangguan mental dan tidak terdaftar dalam American Psychiatric Association's Diagnostic and Statistical Manual. Namun, kondisi ini diakui di komunitas psikologis sebagai perasaan wajar yang dialami seseorang.

Direktur Institute for Urban Policy Research & Analysis di University of Texas di Austin, Kevin Cokley, mempelajari sindrom impostor yang dialami etnis minoritas, termasuk Afrika-Amerika, Asia-Amerika, dan Amerika Latin.

Cokley menjelaskan, orang-orang dalam kelompok-kelompok etnis tersebut sangat rentan alami sindrom impostor, terutama ketika mereka berada di lingkungan yang mana mereka dianggap sebagai minoritas.

Untuk mengatasinya, Cokley menyarankan, orang-orang mengingatkan diri mereka sendiri tentang perjuangan dan upaya mereka yang berhasil dan meraih prestasi.